Minggu, 17 Juni 2012

Pernahkah, Kau Merasakannya, Dunia yang Kelabu Itu?


Ayah kau bilang kita harus menjalankan kewajiban kita kepada-Nya, melaksanakan semua perintahnya dan jauhi larangannya. Kau bilang sebelum melakukan sesuatu berdoalah terlebih dahulu, agar apa yang kita lakukan selalu dalam ridho dan perlindungan-Nya. Katamu, kita berlindung pada-Nya dengan segala ketulusan hati, disaat sesulit apa pun, akan selalu ada hikmah dan kebaikan dibaliknya, sehingga ketika kita pasrah dan berserah diri pada-nya, yakin dengan berdoa dan ikhtiar, jalan keluar itu akan datang dan terbuka lebar untuk kita. Ayah katamu juga, sejak aku kecil dulu, kau bilang kalau kita ingin sampai kelangit ke tujuh, jiwa dan raga kita harus bersih dan suci. Ayah, sekarang aku mengerti, maksudmu dulu bicara seperti itu, agar aku menghindari hal-hal negatif yang menghampiri, dan berpikir positif dalam menghadapi banyak hal yang kutemui dimasa lalu, sekarang, maupun nanti. Tapi Ayah, sekarang semuanya terasa keruh, tak bening, tak juga berwarna...

Ayah, kau bilang kita dan alam semesta ini saling berhubungan. Katamu, aku bisa merasakan kesejukkan mereka dimanamun aku berdiri. Ayah, kau benar, aku merasakan getaran itu, getaran lembut dari semesta yang meniup-niup, tersaring hingga menembus setiap celah-celah gelombang halus yang kau sebut berwarna itu, dan menggelitik setiap epidermis tubuhku, hingga lepas mengalir ke setiap titik energiku dan mengendap dipusatnya. Embun dipagi hari yang menemani hangat sang surya menyambut hangat senyumanku, pohon yang sejuk, yang membaca perasaanku dan memberikan aku gambaran kehidupan, juga angin yang berhembus saja mengantarkan banyak pesan kerinduan, binatangpun mengenali kehangatan yang kupancarkan, bahkan bulan dan bintang di tengah gulita malam selalu megnhiburku dalam penat dan kesedihan yang tiap kali datang. Umm, Ayah, kini aku tak merasakannya lagi...

Ayah, kau bilang kita dan semua orang hidup bersama. Katamu, aku bisa belajar banyak hal dari mereka, berbagi dengan mereka, bertemu, berkenalan, berteman dengan berbagai macam karakter dan warna mereka. Ya Ayah, aku berlajar banyak hal dari mereka, aku berbagi banyak hal dengan mereka, dan aku bertemu, berkenalan, berteman, bersahabat, bahkan aku menyayangi mereka. Aku dapat memandang sisi yang tak terlihat olehku dari mata dan hati mereka, dengan segala keanekaragaman prinsip, presepsi, argumen, suara, bahkan pengalaman yang bermacam-macam aku seperti mengelilingi dunia. Kehangatan itu bahkan terasa saat kita semua bersama-sama. Sampai aku mengenal rasa itu, ya Ayah aku merasakannya, aku malu menceritakannya padamu, tapi entah bagaimana kau tahu begitu saja, cinta... Ayah perasaan ini kah yang kau rasakan ketika itu bersama Bunda? Rasanya senang sekali ya Ayah, bisa menghabiskan waktu bersama, menghibur dan melindungi satu sama lain. Meskipun semua itu, pada akhirnya membuatku merasa sakit, sakit yang begitu dalam, yang bahkan membuatku ingin menghapus perasaan yang semua orang sebut cinta ini. Tapi Ayah, entah kenapa, sekarang semuanya tak seperti dulu lagi, semuanya terasa asing...


Ingin aku bertanya padamu Ayah. Kenapa semua seperti ini? Inikah perubahan yang kau katakan itu?
Inikah hutan liar yang kau katakan itu? Inikah dunia bertopeng itu? Dimana ketika semua orang tumbuh dewasa dan melewati masa kelabu seperti ini? Masuk dalam dunia yang penuh dengan ironi dan metafora. Rasanya begitu asing Ayah, bahkan aku sempat tak mengenali diriku sendiri, bahkan aku hilang arah akan jalan hidupku, ketika navigasi diri sudah tak berfungsi lagi. Aku seperti terjebak, terjebak ditengah ruang tampa batas dan aku hanya bisa bersembunyi dibalik rasa takut, bersalah, menyesal, dan... Kegelapan. Ketika aku memandang, semua terihat berkabut, ketika aku mendengar, hanya terdengar jeritan hati setiap orang, ketika aku menghirup setiap aroma disekitarku, hanya bau hanyir dan harum yang membawa ingatanku pada semua masalalu dan kenyataan pahit ini, ketika aku bersuara, bahkan tak terdengar sama sekali, ketika aku merasakan.. Kosong. Mungkinkah karena aku merasa takut? Aku takut jika aku melihat, mencium, mendengar, dan merasakan terlalu jauh kenyataan pahit itu semua akan menjeratku dalam kehidupan yang kelabu ini lebih jauh lagi? Ketika duduk dihamparan rumput dengan pohon-pohon rindang, semua membisu, ketika memandang langit berhiaskan bulan bintang, seperti mendung, bahkan pagi yang hangat karena sang surya, dingin terasa dengan kekosongan ini. Aku melangkah keluar, mengikuti arus, memperhatikan... orang-orang yang menyimpan kebusukan dalam hatinya, atau orang-orang yang tertawa diatas penderitaan seseorang, orang-orang yang terjerat dalam nikmat dunia, atas harta, nafsu, dan kekuasaan, orang-orang yang dibutakan kesombongannya atas intelektualitasnya, bahkan orang-orang yang sakit yang tidak ingin tahu akan keberadaan orang lain, juga orang-orang yang tak dapat mengenali dirinya dan kehidupannya sendiri, sama sepertiku...

Dalam mimpi di tidurku,
Dalam bisik setiap Doaku,
Dalam hati yang berserah pasrah,
Dalam niat yang tulus,
Dalam sujudku pada-Mu,
Hingga aku terbangun dipagi yang cerah dengan kesejukan dan kehangatan, dan cinta yang terbebaskan, aku tersenyum...

Kuterima surat darimu Ayah, aku senang mendengar semua orang-orang yang ku sayang disana baik-baik saja. Dalam suratmu, kau ingatkan aku tentang apa yang sempat kau pesankan padaku dulu. Iya Ayah, sekarang aku mengerti...
Masa yang kelabu itu, adalah masa yang pasti akan semua orang hadapi, ketika dirinya diambang dilema kehidupan, disitu kita mencari jadi diri, dengan jalan yang sudah ku tentukan, walau sempat berbelok-belok dan terbawa arus, sampai aku tahu dan paham dimana batasku untuk berhenti dan kembali, sambil mengambil setiap pelajaran dari setiap jalan yang kulewati. Dengan banyak masalah yang telah ku hadapi yang membuatku tumbuh kuat dan dewasa. Sampai akhirnya aku kembali, dalam pelukan hangat keluarga yang menungguku pulang dari seleksi dan petualangan hidup yang penuh dengan segala macam rasa itu. Hmmm, Ketika aku menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan tenang, lalu membuka mata dan hatiku.
Tersenyum,
Bersyukur atas apa yang telah ku lewati dalam kehidupanku, orang-orang yang membenci dan menyayangiku. Aku minta maaf, aku berterimakasih, karena kalian semua, aku bisa melihat dunia, dengan sisi-sisi yang bahkan tak dapat kulihat sebelumnya, karena kalian semua aku tumbuh dan belajar banyak ...
Terimakasih Bunda, dengan segala kehangatan akan kasih sayangmu aku tumbuh percaya diri, dengan kasih sayang yang kau berikan, dan kasih sayangku yang kini kuberikan untuk orang-orang disekitarku. Terimakasih untuk Ayah, aku berjanji akan menjaga keluargaku, aku ingin menjadi seorang pemimpin sepertimu, atau aku ingin pemimpin sepertimu untuk keluargaku nanti.
Terimakasih, untuk keluarga kecilku, dirumah.
Terimakasih untuk-Nya dengan segala keajaiban yang hadir dalam kehidupanku.
Aku, Sayang semuanya.

Sekali lagi, disini, dengan mimpiku, aku melangkah !

Written by
17 Juni 2012, Bulan kecil.

2 komentar:

Surat Untuk Syf