Minggu, 27 Oktober 2013

Semesta Berdua: Part I


“Katanya, setiap yang hidup selalu punya garis. Setiap hibat selalu pulang berlabuh. Setiap tulang rusuk akan selalu menjaga satu hati, dan setiap nama akan selalu dituliskan berdua. Katanya, semua itu ada waktunya. Sekarang, aku cuma perlu sabar buat nunggu itu semua.”

Sore itu...

“Tau gak sih, aku tuh seneng banget baso. Dari sekian banyak makanan yang enak, baso emang tetep yang juara!” Ujarku padanya sambil penuh mulutku mengunyah baso.
“Hahaha, dasar!” Dia cuma tersenyum sambil menghabisi kuah basonya sampai tak tersisa setetes pun, yang ada hanya tinggal baso besarnya.
“Ih, aneh banget makannya. Masa kuahnya habis duluan sebelum basonya?” Ujarku yang sempat berhenti makan, karena heran memperhatikan dia.
“Makanan tuh harus habis, jangan disisa-sisa. Aku lebih suka makan basonya terakhir, tapi di tambah kecap, saos, sama merica deh, hahaha.” Ujarnya sambil menuangkan bumbu-bumbu di basonya.
“Ehehehe, emang dasar ya, alien!” Ujarku sambil melanjutkan makan.
“Kayak sendirinya gak aneh aja, hahaha!” Ujarnya sambil tertawa.
“Iya sih, hahaha, it’s ok!” Aku pun ikut tertawa.


Sadarkah kamu, saat itu kita mulai saling merasa? Namun, entah kapan, baik aku dan kamu, bisa meyakininya, bahwa perasaan itu nyata.”


“Hm, emangnya kamu gak pernah jalan-jalan keliling Bandung gitu?” Tanya Tarun.
“Engga, ya paling, jalan-jalan juga, gak jauh dari yang deket-deket aja. Paling ujung-ujungnya ke Gramed. Nongkrong, baca, ya gitu-gitu aja sih, hahaha.” Jawabku.
“Ya elah, masak dua tahun di Bandung cuma di sini-sini aja.” Balas Tarun.
“Yaaaa, gimana lagi, hahaha.” Balasku.
“Besok kamu ada acara gak?” Tanya Tarun.
“Hmm, kayaknya engga deh. Kenapa gitu?” Jawabku.
“Main yuk.” Tanya Tarun sambil tersenyum.
“Kemana?” Tanyaku heran.
“Ada deh, pokoknya kamu pasti suka.” Jawab Tarun tersenyum penuh curiga.
“Gak ah, nanti aku diculik pake ufo terus dibawa ke planet lain.” Jawabku takut.
“Hahaha, enggak lah, paling juga aku karungin terus dikilo hahaha, ya? Gimana?” Tanya Tarun sambil tertawa kecil.
“Huh! Dasar! Hmm.. Kalau gitu besok pagi, aku kabarin lagi.” Jawabku agak ragu.
“OK. Kalau gitu, jam berapa?” Tanya Tarun lagi.
“Hmm.. Yang pasti jangan pagi banget. Soalnya aku belum bangun.. Heuheu.” Jawabku sambil tersenyum paksa.
“Heuheu payah.. Ok deh kalau gitu.” Jawab Tarun.

            Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu, terlihat jelas bahwa hatimu, anugerah terindah yang pernah kumiliki.” Nada dering handphone ku berbunyi. Sekilas aku baca, “Message received from Tarun”, “Jam 10 nanti, Aku tunggu kamu di kios depan rumah ya! Salam. Tn. Alien”. Aku pun bergegas mempersiapkan diri, sampai akhirnya waktu tiba mempertemukan kita lagi.

“Selamat pagi!” Sapaku tersenyum padanya.
“Udah siang! Dasar pemalas!” Jawabnya tersenyum, sambil memberikan helm yang satunya kepadaku.
“Hahaha, iya sih. Well, terus kita mau kemana?” Tanyaku agak bingung sambil hendak memakai helm.
“Timur? Barat? Utara? Selatan?” Tanyanya.
“Hah? Maksudnya?” Jawabku heran.
“Iya, kamu mau kemana?” Tanyanya lagi.
“Yaaa, aku kan gak tau mana tempat yang bagus tuh. Bebas deh, aku pasrah di culik sama alien!” Jawabku.
“Bebas? OK. Siap, kita berangkat!” Ujarnya penuh semangat.


“Kamu tahu? Ini baru berapa hari setelah percakapan pertama kita. Tapi, aku merasa ada sesuatu. Namun, aku masih belum yakin akan perasaan itu.”


            Tak lama akhirnya kita sampai di suatu tempat. Sampai sekarang, aku gak pernah ngerti, maksud kamu ajak aku ke tempat itu apa. Cuma aku senang sekali, bisa menikmati indahnya tempat itu, bersama kamu.

“Yuk, kita masuk!” Ajak Tarun yang menoleh ke arahku sambil memberikan karcis.
“Hm? OK!” Aku mengangguk kecil.
“Hap, hap, hap, hap!” Tarun berlari menuruni tangga dengan cepat.
“Sombong! Mentang-mentang udah terbiasa!” Teriakku kecil.
“Ini sih belum seberapa! Coba nanti pas naik ya! Hahaha!” Balasnya.
“Huh! Siapa takut!” Jawabku ketus.

Akhirnya tibalah kita. Air terjun yang begitu jernih mengalir deras di hadapan kita. Tarun melepas sendalnya, Aku pun ikut melepaskan sepatuku dan menenggelamkan kakiku ke air. Sungguh, aku senang sekali. Lama kami bermain air, akhirnya kita memutuskan untuk beristirahat sejenak. Duduk di bangku kayu yang sudah rapuh. Aku membuka kotak makanku yang berisi sandwich, dan membaginya bersama Tarun. Tak terasa kita saling bercerita, bercanda, dan mencoba mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya waktu menjemput kita untuk kembali.
Akhirnya kita berteduh di sebuah rumah makan kecil. Selesai dengan urusan perut, sebentar kita duduk, menikmati pemandangan kota dengan sejuknya langit senja.

“Bulan, kenapa sih kamu suka banget nulis? Kamu gak pernah kehabisan ide buat nulis? Gak pegel apa tangan kamu?” Tanya Tarun.
“Hm? Engga juga sih. Ya, kalau lagi ada ide aja.. Hmm gimana ya, buat aku, nulis itu mencurahkan suasana hati. Kalau lagi badmood, atau kalau lagi galau, ya ngobatinnya dengan nulis, hahaha. Makanya tulisan aku gak jelas semua.” Jawabku sambil tertawa kecil.
“Ah, kamu! Hmm.. Oh iya, kenapa kamu suka banget sama bulan? Padahal Bulan tuh kan jelek, bolong-bolong lagi!” Tanya Tarun lagi.
“Bulan yang malang berongga itu, emang bukan apa-apa. Tapi, saat ia berada di posisi yang tepat, ia akan bercahaya. Sama seperti kita, dengan menerima segala keistimewaan yang ada dalam diri kita, dan berada di jalan-Nya, dengan menjalankan kewajiban kita pada-Nya, dan mengamalkan segala kebaikan kita dari-Nya. Kita bisa memantulkan cahaya manfaat dan keindahan untuk orang lain disekitar kita. Duh, hyperbola ya. Sorry. Hahaha.” Jawabku sambil tersenyum geleng-geleng.
“Wah, bisa.. Kamu seneng berfilosofi ya ternyata. Keren.” Ujar Tarun, tersenyum memandangku.
“...” Aku Cuma bisa menatap pemandangan sekitar, tapi Tarun terus saja memandangku lama sekali.
“Orang bilang aku itu kayak rumput liar. Cuma parasit.” Senyum Tarun sambil menunduk.
“Siapa bilang?” Jawabku.
“Hah?” Tarun menoleh ke arahku.
“Rumput liar ya? A simple thing, sometimes ignored. Tapi, dia bisa tumbuh di mana aja. Dia hijau buat tanah yang kering. Makanan buat binatang-binatang. Bahkan bisa jadi tenang, buat mereka yang diam memperhatikannya.
“Hm. I am the weeds. The greatest green fertile weeds. Thanks Moon!” Senyum Tarun padaku.
“Hu’um.” Aku pun mengangguk.

Beberapa hari kemudian, saat aku sedang membaca buku di balkon lantai tiga kampusku. Tadinya aku nunggu Raka pacarku. Tapi ternyata yang datang, kamu...
             
“Hey!” Sapa Tarun dari kejauhan.
“Hah?” Aku lekas memakai kacamataku, dan menoleh ke arahnya.
“Sibuk gak?” Tanya harun padaku.
“Kelihatannya?” Jawabku sambil menutup buku yang ku baca.
“Temenin aku beli yoghourt yuk!” Ujar tarun sambil tersenyum.
“Manja banget sih, beli yoghourt aja minta di temenin!” Jawabku  manyun.
“Iya deh, gak apa-apa manja juga. Mau gak?” Tanyanya sambil memberikan helm padaku.
“Kok pake helm sih? Emangnya kita mau kemana?” Tanyaku heran.
“Beli yoghourt kan?” Jawabnya sambil tersenyum penuh curiga.
“Ih, aku mau diculik lagi ya?” Ujarku pasrah.
“Udah, tenang aja sih, aku juga gak akan ngapa-ngapain.” Jawab Tarun sambil tersenyum.


“Sepanjang perjalanan, aku berbisik diam-diam. Aku merasa, kita sudah mulai menyelam jauh kedalam hati masing-masing. Langit cerah kota para dewa, mengantarkan kita ke bukit kecil yang menghadap ke utara. Biarlah, aku mengikuti, kemana arus kan membawaku pergi.“


“Wah! Jadi kita bakal ke atas situ nih!” Tunjukku ke puncak bukit.
“Yap! Kuat kan? Yuk, kita minum yoghourt di atas!” Ujar Tarun, tersenyum sambil menjulurkan tangan kanannya ke arahku.
“OK!” Ku meraih tangannya, akhirnya kita berjalan hingga ke puncak bukit.


“Teringat akan sebuah pertanyaan seorang sahabat. Mana yang akan kamu pilih? Dia yang menunggumu di puncak atau dia yang menemanimu hingga sampai di puncak? Entah kenapa, rasanya seringkali pertanyaan itu mengusik pikiranku.”


“This! Aku suka banget tempat ini!” Ujarku, sambil memejamkan kedua mata, melebarkan kedua tangan, dan menanggahkan kepalaku ke atas.
“Ini sih belum seberapa, masih banyak yang lebih indah dari ini.” Ujarnya yang terus tersenyum sambil memperhatikan aku.
“Bebas! I’ve waited so long for this time!” Ujarku.
“Jarang-jarang ya? Di kota mana ada tempat kayak gini.” Tambahnya.
“...” Masih dengan kondisi yang sama, aku cuma bisa tersenyum.
“...” Dia pun masih tetap memperhatikanku sambil tersenyum kecil.
“Thanks ya! Tau aja sih, aku suka banget sama tempat-tempat yang kayak gini? Kemarin air terjun? Sekarang bukit? Keren!” Ujarku sambil tersenyum padanya.
“Ya, gak tau sih, pingin aja bawa kamu ke tempat-tempat yang pernah aku datengin. Aku pingin kamu liat, hal-hal yang indah di luar sana. Masak, lama di Bandung gak pernah ke mana-mana, hahaha.” Ujarnya sambil tertawa kecil.
“Huuh! Ya habisnya, aku kan gak tau di mana aja tempat-tempat yang bagus tuh.” Jawabku agak ketus.
“Alasan.” Balasnya masih tertawa kecil.
“Ih, seneng banget sih nge-bully orang!” Balasku padanya.
“Ya, hahaha maaf-maaf, ampun deh. Aku gak akan bully kamu lagi kok.” Balasnya.
“Hahaha, ya ya ya.” Jawabku singkat. Kita pun duduk berdua di puncak bukit yang menghadap ke perkebunan dan kota.
“Hmm. Biasanya kalau cewek dibawa ketempat kayak gini tuh ngeluh. Tapi, gatau kenapa aku gak pernah tuh denger kamu ngeluh sedikit pun.” Ujar Tarun sambil menoleh ke arahku.
“Hmm, ya, emang gak ada yang mudah kan, buat mencapai kebahagiaan? Dan buat aku, melihat keindahan ini udah merupakan kebahagiaan. Ya, seenggaknya itulah yang aku rasain.” Ujarku tersenyum kecil padanya.
“Hmm, OK.” Jawab Tarun tersenyum.
“Hmm, well, aku boleh tanya gak, kenapa alasan kamu ajak aku ke tempat-tempat yang indah kayak gini?” Tanyaku padanya.
“Hmm, apa ya? Ya, seneng aja, bisa ajak kamu. Apalagi, Aku paling suka liat wajah kamu kalau udah takjub lihat pemandangan. Gak tau kenapa, seneng aja liatnya.” Ujarnya tersenyum menatapku.
“Hmm, makasih ya, Tarun.” Aku pun ikut tersenyum.

Hingga senja langit Bandung utara menjemput kita untuk kembali ke kota...
           

“Tarun. Sadarkah? Aku mulai takut. Aku takut, perasaan ini akan semakin jauh. Aku takut, mengkhianati. Tapi aku gak mau Tarun. Aku gak mau semuanya selesai sampai di sini. Masih banyak yang ingin aku bagi sama kamu, sama bumi. Ya, maafkan aku juga. Bumi, pacarku, aku pulang.”


-To Be Continue-