Sabtu, 13 Februari 2016

Surga Yang Tersembunyi

Perjalanan menuju Sawarna, Kabupaten Lebak, Banten, adalah perjalanan yang sangat berkesan. Saat itu adalah hari Kamis malam, saya beserta kelima teman saya memulai perjalanan dari Cihampelas, Bandung pada pukul 22.00 WIB. Dengan menggunakan tiga kendaraan motor, kami berenam berangkat menuju pemberhentian pertama, yaitu salah satu rumah teman kami di Cianjur. Kami pun sampai di Cianjur pada pukul 00.00 WIB. Sebelum beristirahat, kami berenam disuguhi sate maranggi khas cianjur oleh tuan rumah. Kami sangat senang sekali, sampai akhirnya kami bisa beristirahat pada pukul 01.00 WIB. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dari Cianjur menuju Sawarna pada pukul 06.00 WIB. Bagi kami, sudah biasa untuk melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor, walaupun lelah duduk berjam-jam selama perjalanan, tapi terbayar sudah dengan indahnya pemandangan pesawahan, kebun teh, pegunungan kapur, dan pantai-pantai indah sepanjang Palabuhan Ratu. Walau kami sempat terjebak macet di Sukabumi, dan berhenti sesekali untuk mengisi bensin, shalat Jumat, dan beristirahat, tapi akhirnya kami bisa terus melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Sawarna pada pukul 12.00 WIB.




Saat sampai di pintu masuk besar Desa Sawarna, awalnya kami sempat bertanya-tanya. Di manakah letak pantainya? Sejauh ini tidak ada tanda-tanda kehidupan pantai, tidak ada, wangi air laut, suara ombak, maupun pasir. Semuanya masih berselimut tanah, pegunungan, dan rumah-ruma penduduk. Lebih menariknya, perjalanan untuk sampai ke pintu pantai, kami harus melewati jalanan yang terjal, tinggi, berbelok-belok, sebelumnya kami ke sini, jalannya masih berlubang dan tidak rata, tapi sekarang sudah lebih baik, jalannya sudah beraspal. Tiba di pintu pantai, kami harus melewati jembatan gantung untuk sampai ke pemukiman warga, di sini kami harus berhati-hati karena dengan kendaraan bermotor sangat sulit untuk menjaga keseimbangan melewati jembatan ini. Tiket masuk tidak di hitung dengan kendaraan bermotor, tapi dihitung perorangnya satu tiket Rp. 15.000. Tunggu sebentar, perjalanan belum selesai, sampai di sini belum terlihat tanda-tanda pasir pantai, sampai kami bisa melanjutkan kurang lebih 5-10 menit perjalanan untuk ke pantai.
Barulah akan terlihat indahnya dataran pasir membentang luas, dengan jalan setapak untuk motor dan pejalan kaki. Wangi air laut pun sudah tercium, tak sabar rasanya untuk mengistirahatkan diri. Nah, di sini ada banyak jalur, ada yang menuju Pantai Tanjung Layar, Pantai Legon Pari, Karang Taraje, dan satu lagi adalah tempat favorit kami untuk tinggal, yaitu Pantai Pasir Putih Ciantir.
Karena sepanjang jalan itu pasir, jadi menggunakan kendaraan bermotor, carrier, dan bawaan lainnya, kami harus bersusah payah untuk sampai menuju salah satu saung di tempat biasa kami tinggal.
Pantai Pasir Putih Ciantir adalah tempat favorit kami, pantai ini menawarkan pesona pantai yang menajubkan dengan ombak yang cocok bagi anda yang menyenangi olahraga selancar. Selain masih sangat asri, dan dihiasi dengan pasir putihnya yang bersih berkilau, juga ombak yang cukup besar dan menghasilkan suara ombak yang merdu, pantai ini juga sepi dari kerumunan orang (kalau bukan di hari libur), jadi bagi seorang yang menyukai kesunyian dan pencari ketenangan alam seperti saya, Pantai Ciantir ini sangat cocok sekali. Nah, karena ombak yang cukup besar, memberikan potensi sedotan ombak sehingga menimbulkan resiko tenggelam dan terhanyut ombak. Namun, jika kita hanya berenang di pinggiran dan tidak melewati batas bahaya, semuanya akan aman-aman saja. Selain itu, Pantai Ciantir mempunyai pesona sunset dan suasana malam yang indah. Selain itu, kearah kanan lurus sekitar 1 Km terdapat sebuah muara yang tak kalah indahnya menyajikan pemandangan dan udara sejuk yang indah dan nyaman. Biasanya, di pagi hari kami sempatkan sebentar untuk berjalan kaki ke muara Pantai Ciantir tersebut dengan telanjang kaki.


Cendramata Dari Suku Baduy



Selain itu, Pantai Ciantir ini memiliki fasilitas yang cukup memadai. Walau sebelumnya kami pernah camping, tapi kali ini kami ingin mencoba untuk tinggal di saung kecil sekitar pinggiran pantai. Kondisi saung-saung yang cukup nyaman untuk di huni dengan harga yang tak kalah murah dan bisa di tawar, kemarin kami menginap di saung dengan harga Rp. 300.000 untuk 6 orang selama tiga hari, dengan dua buah kamar, kasur kecil, selimut beserta bantal, lima kamar mandi yang bersih, air bersih, listrik, dapur, makanan yang cukup murah, tempat parkir, serta lokasinya yang berada tepat di pinggiran pantai.
Di kawasan pantai Ciantir ini, terdapat kurang lebih tiga native people asli Baduy, mereka keluar dari kawasan suku mereka namun tetap dengan membawa budaya mereka. Seperti bertelanjang kaki tanpa alat transportasi apapun, sehingga mereka menghabiskan waktu dua hari dua malam untuk sampai ke pantai. Mereka tidak terlalu banyak berkomunikasi, tujuannya hanya untuk menjual hasil buatannya seperti aksesoris gelang yang seharga Rp. 10.000, tas seharga Rp. 50.000 yang terbuat dari kayu khusus, dan madu seharga Rp. 100.000. Mereka juga berpergian dengan baju yang khas, dan kain yang dililitkan di kepala, tidak menggunakan alas kaki, dan membawa senjata seperti pisau besar yang terdapat ukiran cantik di pegangannya.
Setelah selesai beristirahat, makan, dan merapikan perlengkapan kami, beberapa dari kami sempatkan untuk berenang dan bermain pasir di pinggiran pantai, dan beberapa lagi tetap beristirahat di saung.

Keesokan harinya, kami bersiap untuk menyusuri pantai-pantai di Sawarna dengan berjalan kaki. Mulai berjalan dari Pantai Pasir Putih Ciantir, Pantai Tanjung Layar, melewati Karang Bereum, lalu lanjut ke Pantai Legon pari, Bukit senyum, terakhir adalah Goa Lalay. Jangan lupa untuk memakai suncream agar kulit kita tidak terbakar (walaupun akan lebih menghitam hehehe), siapkan air minum, dompet, dan kamera. Baiknya menggunakan sepatu, topi, danpakaian yang panjang agar kulit tidak terbakar, tercekuali bagi yang terbiasa cuek seperti saya, hanya mengenakan pakaian panjang dan sandal outdoor.
Setelah selesai dari muara dan persiapan, kami memulai perjalanan dari saung, sekitar pukul 09.00 WIB. Kami berenam berjalan menuju Pantai Tanjung Layar. Sekitar kurang lebih 2 km kearah selatan. Kami berjalan melalui pinggir pantai dan melewati jalan setapak.
Sekitar setengah jam di perjalanan, akan terlihat pemandangan Karang Bereum, pemandangan indah ombak besar yang menabrak batuan karang yang besar, menjadi seperti air terjun, dan di atas karangnya ada sebuah batu karang berwarna merah pekat. Karena ombak yang besar, tempat ini menjadi tempat favorit bagi para peselancar. Walaupun tidak sedikit yang sering terluka karena menambrak karang saat berseluncur, para peseluncur harus pandai mencari spot untuk berselancar agar tidak menabrak batu karang, dan biasanya mereka membawa dokter pribadi, dan terluka bukan menjadi penghalang bagi meraka untuk melakukan olahraga ekstrim ini. 
Akhirnya kami tiba di pos pertama kami, Pantai Tanjung Layar. Tanjung Layar yang menjadi ikon Desa Sawarna, yang nama pantai ini sendiri diambil dari kata tanjung yang berarti daratan yang menjorok kearah lautan, dan layar pada layar perahu. Memang pantai ini terletak tanjung yang memang tidak saja berpasir melainkan berbatu-batu karang yang di tengahnya terdapat dua bongkahan karang yang bersebelahan dengan tinggi kurang lebih 25 meter dengan luas sekitar 35 meter persegi.

Pantai Tanjung Layar merupakan pantai yang sangat indah dan mempesona. Hal yang unik dan menarik, yaitu terdapatnya pemandangan karang kembar yang menjulang berbentuk kerucut, terjadi karena gejala alam yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Di sekitar karang terdapat karang yang berdiri menjulang setinggi 3 meter sepanjang kurang lebih 400 meter yang memecah ombak menghalangi hempasan ombak yang menerpa bongkahan karang kembar tersebut. Hasilnya, hempasan ombak yang tertahan menjadi seperti  air terjun. Di bibir pantai terdapat pasir pantai dan pecahan karang dan koral yang berserakan. Sekitar 20 meter dari bibir pantai terdapat warung-warung menyediakan berbagai hidangan dan minuman. Makanan yang dijual di sini tidak jauh berbeda dengan makanan yang dijual di warung di pinggir jalan seperti nasi goreng, mie, lotek. Minumannya seperti minuman kemasan, teh manis, es kelapa, bandrek, dan minuman beralkohol dengan kadar 5%.
Yang menarik dari warung tersebut adalah tersedianya saung panggung atau gazebo yang cukup luas sekitar 36 meter persegi yang bisa dipakai untuk duduk-duduk atau berbaring sekadar melepas lelah. Material saungnya sendiri terdiri dari tiang penyangga berbahan kayu dengan alasnya berbahan bambu dan atapnya yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang sudah kering. Penjaga warungnya pun sangat ramah dan harga untuk makanan dan minumannya pun terjangkau. Untuk harga makanan berkisar Rp. 10.000,- s.d. Rp. 20.000,- sedangkan untuk minuman berkisar Rp. 3.000,- s.d. Rp. 10.000,-. Pada tiap warung terdapat fasilitas toilet yang cukup memadai dan di beberapa warung terdapat TV dan sambungan untuk listrik. Udara pantai yang berhembus dan saung yang menahan terik sinar matahari, dijamin membuat betah pengunjung untuk berlama-lama di sana.
Nah, suatu objek wisata biasanya tidak dapat terlepas dari cerita atau legenda dibaliknya, tidak terkecuali pantai tanjung layar. Konon katanya, apabila ada dua sejoli mengunjugi tanjung layar dan menyentuh karang kembarnya, maka cinta mereka tak akan terpisahkan seperti karang tersebut, dan memang tidak setiap pengunjung dapat menyentuhnya karena bila pasang, air laut sering menenggelamkan akses jalan menuju karang kembar. Legenda yang lainnya adalah legenda batu yang di permukaannya terdapat tapak kaki yang berukuran jumbo. Penduduk setempat meyakini tapak kaki itu adalah tapak kaki si Kabayan. Sampai sekarang tapak kaki ini masih utuh dan menjadi objek wisata di Sawarna, mereka menyebutnya "tapak si kabayan".
Pantai Tanjung Layar juga sering diburu para pengunjung yang gemar fotografi, selain karakteristiknya yang unik, pantai ini sangat cocok untuk mengambil foto saat matahari tenggelam, namun perlu diperhatikan apabila ingin berfoto di karang layar hendaknya berhati-hati karena medan jalan yang sangat licin juga ombak besar yang siap menerjang kapan saja. Salah satu kekurangan yang lainnya juga adalah di daerah tanjung layar masih minim penjaga pantai dan peralatan penyelamatan.
Setelah puas menghabiskan waktu di Pantai Tanjung Layar, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Pantai Legon Pari. Selama menyusuri pinggiran pantai, kami harus berhati-hati, karena jalannya merupakan daratan batu-batu karang. Bagi kami ini sangat menyenangkan, jauh, dan memcau adrenalin, karena sangat jarang bagi kami untuk berjalan kaki jauh melewati bebatuan karang seperti ini, jadi kami bawa senang saja. Perjalanan ini pun, mempererat persahabatan kami, karena saya senang makan, jadi kami sempatkan untuk beristirahat di warung kecil, sementara yang lain beristirahat, saya berdua dengan teman saya yang lain untuk makan mie rebus (hehehe).
Sesampainya di Pantai Legon pari, pukul 13.00 WIB, perjalanan yang panas nan jauh, namun terbayar sudah dengan keanggunan Pantai Legon Pari. Sesuai namanya  “Legon” berasal dari kata “Lagoon” dalam bahasa Inggris atau “Laguna” dalam bahasa Indonesia yang artinya sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang yang berupa pasir atau batu karang, dapat juga diartikan sebagai air yang berada di belakang gugusan batu karang. Sedangkan menurut masyarakat setempat, Ibu Eti, salah satu pemilik warung di Pantai Legon Pari, menuturkan dalam bahasa sunda, arti “Legon” atau “Melegon” adalah lengkungan dan “Pari” karena dahulu terdapat banyak ikan pari yang hidup di kawasan ini.
Pantai Legon Pari merupakan pantai yang sangat indah, Hembusan angin yang cukup kencang, spot karang yang sangat luas dan besar ditambah dengan desiran ombak yang deras merupakan sajian keindahan alam yang sangat diminati bagi pengunjung, dan Pantai Ciantir ini sangat anggun dengan sunrisenya.
Untuk yang khusus masuk ke Pantai Legon Pari ini, cukup dengan tiket masuk seharga lima ribu rupiah, terkecuali kami tidak membayar karena kami menyusuri pantai, jadi tidak masuk melalui pintu masuk utama. Pengunjung yang datang ke objek wisata ini terbilang sangat sedikit. Setiap senin hingga jumat kawasan pantai Legon Pari selalu sepi pengunjung, namun kondisi tersebut berubah menjadi lebih ramai pada hari sabtu dan minggu.
Di Pantai ini, pengunjung dapat berenang, karena pantai Legon Pari merupakan satu-satunya pantai yang aman di daerah Sawarna yang dapat digunakan untuk berenang karena ombaknya yang tidak terlalu besar. Namun tetap saja tidak diperkenankan berenang di dekat area batu karang.
Fasilitas-fasilitas yang terdapat di objek wisata Pantai Legon Pari cukup lengkap. Terdapat beberapa toilet yang disediakan, warung-warung dan saung-saung di sepanjang pinggiran pantai sebagai tempat bersantai para pengunjung. Namun sayangnya, di daerah Pantai Legon Pari tidak ada restoran atau warung yang menyajikan makanan khusus. Seperti makanan khas daerah Sawarna atau Seafood. Oleh karena itu pengunjung hanya bisa menyantap mie instan, nasi goreng atau makanan rumahan yang disajikan oleh warung seperti karedok, sayur sop, capcai, tempe dan tahu goreng dll. Serta tidak ada penginapan di dekat Pantai Legon Pari sehingga pengunjung yang ingin menikmati sunrise harus bersiap-siap sangat pagi untuk mengunjungi Pantai Legon Pari mengingat jarak dari pintu masuk ke lokasi wisata cukup jauh dan melewati jurang-jurang kecil, pesawahan, hutan-hutan kecil, dan bukit-bukit.
Goa Lalay merupakai bahasa sunda yang berarti kelelawar karena disana dulunya banyak kelelawar. Mulut goa Lalay cukup lebar, tetapi atapnya rendah.
Ketika akan memasuki goa ini harus berhati-hati karena goa dialiri sungai kecil, tapi kalau salah melangkah bisa terperosok hingga basah sepinggang dan lumpurnya sangat licin. Menurut infomasi masyarakat lokal, di Goa lalay itu pernah ada ular yang cukup besar sebagai predator kelelawar.
Goa Lalay sudah mulai dikunjungi wisatawan sejak tahun 2000. Goa ini berbentuk vertical dan ada yang horizontal. Panjang Goa yang bisa dikunjungi bermacam-macam mulai dari 250 meter s.d. 400 meter. Panjang goa ini diperkirakan mencapai 10 hingga 15 kilometer.
Untuk menuju ke Goa Lalay bisa berjalan kaki atau bisa juga menggunakan ojek. Goa Lalay lebih mudah diakses dengan menggunakan ojek ketimbang berjalan kaki, karena lokasinya memang cukup jauh. Dengan membayar 20 – 30 ribu, kita bisa diantar jemput ke goa lalay ini. Karena sebelumnya kami sudah pernah menggunakan ojek, kali ini kami mencobanya dengan berjalan kaki.
Untuk masuk ke goa, kita dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 5.000,- /orang. Di pos masuk, kita juga bisa menyewa head lamp untuk menjelajahi goa. Untuk sewa tersebut kita dikenakan biaya Rp. 5.000,-. Setelah membayar biaya masuk dan melengkapi perlengkapan untuk penjelajahan, kami masuk ke goa yang kedalaman goanya sekitar 200 meter saja, karena keterbatasan waktu yang kita punya. Kami mulai memasuki Goa tersebut bersama beberapa pengunjung lain yang ingin ikut masuk, kami tidak menggunakan Guide, karena kami sudah pernah menjelajahi jalurnya sebelumnya. Karena sumber cahaya dalam goa hanya dipintu masuknya saja, maka semakin dalam akan semakin gelap dan menegangkan. Dan selalu digenangi air. Air ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang ada di sekitarnya. Apabila musim kemarau, maka debit air akan berkurang. Dan apabila sedang musim hujan, maka debit airnya juga meningkat. Selain itu, bau kotoran Lalay pasti kami hirup dan injak di sepanjang perjalanan Goa tersebut.
Fasilitas yang terdapat di wisata Goa Lalay cukup lengkap, seperti, musolla, kamar mandi, warung dan tempat peristirahatan, juga ojek.

Setelah selesai dari Goa Lalay, kami pun pulang ke saung kami berjalan kaki dan tiba di sana pada pukul 16.00 WIB. Karena pakaian yang sudah kotor, beberapa dari kami langsung berlari di pasir putih membasuh diri dengan ombak Pantai Pasir Putih Ciantir.
Lelah yang terbayar sudah. Suasana sunset di pantai kami habiskan bermain pasir, dan tidur di tepian pantai, sambil menunggu para chef hebat (beberapa teman kami) menyiapkan makanan.
Pada malam hari, adalah saat favorit. Sementara yang lain beristirahat, saya tiduran di pinggir pantai beralaskan matras, dengan udara yang khas, suara ombak, kepiting-kepiting kecil yang berlarian kesana kemari meninggalkan jejak lubang-lubang kecil di pagi hari, dan sunyi. Kesempatan yang jarang orang punya, bisa merasakan ketenangan yang seperti ini, sulit digambarkan dan diungkapkan dengan kata-kata.
Keesokan harinya, sebelum persiapan pulang, kami keliling sebentar untuk mencari beberapa informasi tentang Pantai Sawarna ini. Karena kami tidak sempat bertemu dengan kepala Desa, tapi ada salah satu orang kepercayaannya yang bisa kami mintai keterangan mengenai, budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat, akomodasi, transportasi, kuliner, souvenir, dan lain-lain.  

Desa Sawarna memiliki beberapa Budaya dan Kearifan Lokal tertentu. Yang pertama adalah Dongdang. Dongdang adalah suatu keranjang besar yang dibentuk menyerupai benda di sekitar lingkungan kehidupan masyarakat Desa Sawarna. Biasanya kegiatan ini berlangsung pada acara sakral dan dimeriahkan banyak orang, contohnya ketika acara pernikahan berlangsung mempelai pria akan membawa barang atau seserahan yang akan diberikan kepada pihak mempelai wanita, dan barang tersebut akan dibawa menggunakan dongdang.
Seni tradisi Dongdang biasa ditampilkan di hari yang dinggap penting seperti hari kemerdekaan Republik Indonesia. Seni ini sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat Desa Sawarna dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya.
Seiring dengan perubahan jaman dan kreatifitas pemikiran manusia, maka Dongdang menjadi lebih indah dan menarik dengan dikemas seindah mungkin. Ada yang berbentuk perahu, ikan, hewan, mobil-mobilan dan rumah-rumahan.
Dongdang biasanya diisi oleh palawija (hasil bumi) yang akan diserahkan kepada seseorang yang dimaksud. Pada saat upacara Hari Kemerdekaan RI, masyarakat membawa dan menyerahkan hasil palawija mereka kepada Pemerintahan Desa Sawarna untuk dipergunakan sebaik mungkin. Ini adalah bentuk kecintaan mereka terhadap NKRI sebagai rasa terima kasih kepada jasa para pahlawan.
Apabila ingin menikmati acara ini biasanya ditampilkan pada saat Peringatan Hari Besar Nasional sebagai acara hajat desa.
Selanjutnya ada yang disebut dengan Lengseran pada HUT RI. Nah, di tengah cerahnya langit desa Sawarna dan diantara keramahan penduduknya, kegiatan upacara bendera untuk memperingati Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia masih sering dilaksanakan dan diikuti oleh seluruh warga di desa Sawarna. Acara yang sudah berjalan puluhan tahun lalu, peringatan HUT RI di Desa Sawarna ini bisa dikatakan sebagai hari ulang tahun Desa yakni hajat bersama.
Sesuai ungkapan tersebut maka semua kreasi dari warga masyarakat Desa Sawarna di tampilkan di sini, salah satunya adalah Kesenian Lengser yang biasa ditampilkan dalam acara-acara yang bisa dikatakan penting. Penampilan Lengser dibantu dengan penampilan tari kocak serta para dayang-dayang cantik menyambut Kepada Desa Sawarna setelah melaksanakan upacara bendera.
Sebagai suatu bentuk tradisi yang melekat di hati masyarakat Desa Sawarna acara ini mendapat dukungan penuh dari warga terlihat adanya saweran dari warga kepada Ki Lengser.
Setelah lengser menyambut, mengalungkan bunga dan membawa Kepala Desa ke atas pentas seni degung pun yang dimainkan oleh warga selalu setia mengiringi acara ini, ditambah lagi dengan kocaknya para pemain tari kocak yang mengundang gelak tawa dari para penonton.
Adapun Wayang Golek yang merupakan salah satu kesenian yang wajib ditampilkan pada HUT RI di Desa Sawarnapada malam harinya.
Adapun yang namanya Gebyar Nelayan. Gebyar Nelayan adalah sebuah kegiatan yang diadakan setahun sekali yang diadakan pada HUT RI juga mengapresiasi para nelayan Sawarna. Pada hari itu, kegiatan ini dilakukan oleh para nelayan dengan cara menghias kapal-kapal mereka secantik mungkin untuk dilombakan dan di bawa berlayar bersama-sama ke tengah pantai.

Untuk datang ke surga yang tersembunyi ini, tentunya kita memerlukan transportasi. Nah, untuk menjangkau Pantai Sawarna, dari Bandung hanya dapat ditempuh dengan modal transportasi darat saja antara lain dengan menggunakan kendaraan pribadi baik motor atau mobil, atau dengan kendaraan umum, juga dengan travel.
1)     Transportasi Motor Pribadi
Perjalanan dapat ditempuh dari Bandung melalui Cimahi -Bandung Barat – Cianjur – Sukabumi - Pelabuhan Ratu – Cisolok -Sawarna. Untuk motor menghabiskan sekitar 8 liter bensin dengan jarak tempuh kurang lebih 350 kilometer, dan menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam perjalanan.
2)     Transportasi Mobil Pribadi
Perjalanan ditempuh dengan rute yang sama dengan perjalanan dengan transportasi motor dengan estimasi bensin untuk 350 kilometer dengan estimasi bensin 40 liter kira-kira menghabikan biaya Rp. 300.000,- untuk bensin.
3)     Transportasi Umum
Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan Bis menuju Sukabumi dengan biaya sebesar Rp. 25.000,- diteruskan dengan bis menuju Pelabuhan ratu dengan biaya Rp. 15.000,- dan diteruskan dengan mobil Elf menuju Terminal Bayah, turun di pertigaan gerbang pantai sawarna dengan membayar sebesar Rp. 20.000,- dan diteruskan dengan menggunakan ojeg menuju pantai Ciantir dengan membayar sebesar Rp. 25.000,-.
4)     Jasa Travel
Dengan menggunakan Travel biayanya adalah Rp.680.000,- untuk 6 orang termasuk penginapan dan 6 kali makan.

Nah selanjutnya setelah transportasi tentunya kita pasti juga perlu tahu mengenai Akomodasinya. Sawarna menyediakan berbagai jenis tempat pengingapan berupa Villa, Wisma, Homestay dan juga Saung/Rumah Panggung.
Untuk wisatawan yang lebih menyukai kenyamanan suasana rumah bisa menempati Villa atau Wisma setempat, dengan tersedianya kolam renang, taman bermain, kamar, dapur, mushola, ruang meeting¸ tempat parkir yang luas, konsumsi 3x, cendramata, ber-AC, dengan harga yang cukup ekonomis, sekitar Rp. 400.000 yang ber-AC dan Rp. 300.000 untuk yang berkipas angin, kapasitas maksimal 3 orang per kamar. Adapun Homestay yang kurang lebih sama fasilitasnya, hanya mungkin tidak terdapat kolam renang, ruang meeting, dan taman bermain. Harganya pun kisaran Rp. 200.000 s.d. Rp. 300.000. Yang terakhir tempat kami menginap kemarin adalah Saung tertutup. Harganya lebih ekonomis ditambah dengan pemandangan pantai sebagai bonusnya, kami hanya cukup membayar Rp. 300.000 untuk dua hari dengan kuota 6 orang. Fasilitasnya dua kamar, tempat parker, 6 kamar mandi yang cukup bersih, dapur dan jajanan, musholla, dan air bersih. Lain lagi rumah panggung yang tidak tertutup itu harganya sangat murah, dengan bayaran seikhlasnya menurut sang pemilik. Kebetulan kami pernah menginap di situ dengan hanya membayar Rp. 10.000/orang dalam waktu sehari, ditambah fasilitas yang sama dengan Saung tadi.
Untuk Oleh-Oleh dan Makanan Khas Sawarna, mereka menyediakan souvenir seperti pakaian berupa, kaos, celana, kain pantai, topi dan hiasan dari batu, karang, dan kayu. Tidak lupa salah satu souvenir yang unik lagi adalah Batu Mulya yang terbuat dari batu-batu yang cantik dengan harga yang lumayan murah dan dengan banyak pilihan.
Selain itu Sawarna sama seperti kawasan pantai pada umumnya tidak terlalu memiliki kuliner khas, selain yang umum dijual di daerah pantai seperti seafood dan Oleh-oleh rumah seperti; Sale Sawarna, Sasagon Sawarna, Gipan, Gula Semut, Lantak, Kripik Sampeu, Ranginang, Opak, Emping, Karedok, dan Dawegan Sawarna.


Demikian, sekilas tentang perjalanan kami ke Surga Yang Tersembunyi, Sawarna. Semoga cerita dan informasi yang kami sampaikan bisa bermanfaat untuk kalian yang akan berwisata ke Sawarna. See you in another story…