“Cosmo?!!!”. Bisik Clover. Tangannya hampir menyentuh dahi Cosmo.
“Clover?!! Haaah !”. Cosmo terbangun dari tidurnya diruang tengah rumah Clover.
“Cosmo? Kau tidak apa-apa?”. Tanya Clover sambil memberikan air putih pada Cosmo.
“Tidak, aku, aku hanya bermimpi, huff”. Cosmo menarik nafas panjang.
“Kamu mimpi apa Cosmo?”. Clover menatap kearah Cosmo.
“Aku, bermimpi kamu memiliki sayap Clov”. Cosmo menatap Clover heran.
“Hah? Hahahaha, ya ampun, sudahlah itu artinya kau teralu lelah. Apa kita akan tetap menghabiskan libur akhir pekan ini?”. Tanya clover tersenyum ragu.
“Yah, tentu saja. Aku muak teralu lama berada di kota yang memuakkan ini”. Cosmo berdiri mengangkat kedua tangannya keatas, mengekspresikan semangatnya.
“Tidak perlu seperti itu. Bawa barang-barangnnya ke bagasi mobil! Dia yang menang!”. Clover berlari sambil membawa barang-barangnnya.
“Hei ! Arghh kau curang Clover!!”. Cosmo berlari tertatih-tatih karena membawa barang-barang yang sangat berat.
Mereka berdua tertawa, bercerita sepanjang perjalanan. Tujuan pertama mereka ke Pantai Couldy Born. Sesampainya disana mereka menginap di rumah nenek Cosmo yang bernama nenek Gloria yang lumayan berada di dekat pantai. Cosmo dan Clover segera membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk acara api unggun.
“Assalamualaikum. Nenek?!”. Cosmo memeluk neneknya.
“Wa’alaikumsalam. Akhirnya cucuku tersayang berkunjung juga kesini. Sekarang kau sudah dewasa ya nak. Dengan siapa kamu kemari?”. Nenek Cosmo menoleh ke arah Clover.
“Nenek Gloria”. Clover memberi salam kepadak nenek Gloria.
“Cantik sekali, benar apa kata cucuku, kamu mirip sekali dengan almarhum ibunya. Bulan”. Nenek Gloria meraba-raba wajah Clover.
“Ehmm. Terimakasih nenek”. Clover tersenyum kecil.
“Nenek, sudahlah. Clover perlu istirahat dulu. Lagipula kami akan bersiap-siap untuk membuat api unggun di pantai”. Cosmo menepuk-nepuk poni Clover.
“Cosmo hentikan”. Clover mengangkat tas-tasnya dan menuju ke kamar.
“Hahaha, kalian ini. Nenek masak dulu kalau begitu”. Nenek Gloria bergegas ke dapur.
Setelah mengganti baju Clover keluar, dia melangkah lembut menginjak pasir-pasir putih pantai, sesekali menyentuh air. Angin yang berhembus, menghempaskan rambutnya yang hitam lurus-ikal. Sepanjang langkah Clover hanya memandang ombak.
“Kalau aku pergi, tetaplah bercahaya seperti bulan. Karena cahayamu tidak hanya menjadi penerang dihatiku, tapi juga bagi semua orang”.
Clover teringat kata-kata yang diucapkan oleh almarhum kekasihnya. Clover memandang kosong ke arah laut. Mengingat-ingat masa lalu yang kembali mengahantui kerinduannya. Tak lama seseorang memakaikan jaket menutupi dress putih Clover.
“Terimakasih Cosmo”. Ucap Clover lembut.
“Apa yang kau pikirkan?”. Tanya Cosmo yang berdiri disamping kanan Clover.
“Entahlah”. Clover tetap memandang kosong ke arah laut.
“Sudahlah. Kita kan datang kasini untuk melepas penat. Ikutlah denganku”. Cosmo menggenggam tangan Clover dan menariknya ke tempat api unggun.
“Ah?”. Clover heran.
Sesampainya ketempat api unggun, terlihat beberapa orang yang ramai sedang berdansa dan bernyanyi penuh kehangatan. Melihat Clover yang hanay diam Cosmo mengajaknya berdansa.
“Ulurkan tanganmu?!”. Pinta Cosmo.
“Huh?”. Clover bingung.
“...”. Cosmo memegang tangannya dan mereka berdansa perlahan-lahan.
“...”. Wajah Clover begitu dekat dengan wajah Cosmo.
“Kenapa?”. Tanya Cosmo tersenyum.
“Tidak”. Clover menjawab.
Mereka saling bertatapan. Entah apa yang masing-masing pikirkan. Suasana terasa hening. Angin yang berhembus semakin dingin.
“...”
Akhirnya keduanya saling memeluk satu sama lain. Clover memluk Cosmo erat, dan Cosmo pun memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya.
“Aku sangat merindukannya Cosmo”. Ucap Clover sendu.
“Sudahlah, dia tidak ingin melihatmu seperti ini terus”. Jawab Cosmo berbisik ditelinga Clover.
“Aku merasa tidak berguna, aku tidak dapat melakukan apa-apa, aku ..”. Clover mengeluarkan airmata.
“Sudah! Hentikan! Kamu adalah Clover, Clover yang kuat!”. Cosmo memeluknya erat.
“Aku sangat merindukannya”. Clover menangis.
“Hei, Clover, dengarkan aku”. Cosmo memengang kedua pipi Clover, menatapnya.
“...”. Clover hanya diam dan tetap mengeluarkan airmatanya.
“Dengar. Aku tahu kau sangat merindukannya. Aku yakin dia juga merindukanmu disana. Dengar, kau ingin melihatnya bahagia disana?”. Tanya Cosmo lembut.
“...” Clover mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca.
“Berjanji akan tetap kuat dan melakukan yang terbaik. Dia akan pasti bahagia disana jika dia melihatmu menjalani kehidupanmu dengan penuh semangat dan selalu tersenyum”. Ucap Cosmo.
“Iya. Aku mengerti”. Jawab Clover.
“...”. Cosmo menghapus airmata Clover sambil tersenyum.
“Terimakasih Cosmo”. Senyum Clover.
Chatta yang sejak tadi memperhatikan keduanya diantara keramaian orang-orang, dia tersenyum kepada Cosmo. Cosmo yang sadar akan keberadaan Chatta segera menghampirinya.
“Clover, kau tunggu disini”. Cosmo menepuk poni Clover dan pergi.
“Kau mau kemana?”. Tanya Clover.
“Aku melihat Chatta”. Jawab Cosmo.
Cosmo menghampiri Chatta, namun Chatta menghilang. Cosmo merasakan keberadaanya.
“Cosmo!!!!”. Chatta memeluk Cosmo dari belakang.
“Chatta!!! Lepaskan aku!!! Kau ini”. Cosmo mencoba melapaskan pelukannya.
“Wah, nampaknya ada yang sedang berbunga-bunga ya?”. Tanya Chatta dengan nada cemburu.
“Maksudmu?”. Cosmo menatap penuh kesal.
“Eh, Eh, iya maaf. Aku ...”. Chatta menunduk sambil memainkan jari-jarinya.
“Mau apa kau mengikutiku?”. Cosmo bertanya.
“Aku ingin ikut bersama kalian, tapi sepertinya aku mengganggu, yasudah aku pergi saja”. Chatta membalikkan badannya, baru saja sekali melangkah, Cosmo sudah memanggilnya, Chatta tersenyum dalam hati.
“Tunggu!”. Cosmo memanggil Chatta.
“Eh?”. Chatta berhenti melangkah.
“Maukah kau membantuku?”. Tanya Cosmo.
“Tentu, apa itu Cosmo?”. Dengan senangnya Chatta menjawab menghampiri Cosmo.
“Dekati Clover, buat dia kembali ceria”. Cosmo menepuk bahu Chatta lalu pergi.
“...”. Chatta hanya terdiam mendengar itu.
“Kau tahu Cosmo, aku harap aku bisa menjadi seseorang yang istimewa bagimu. Sama seperti Clover”. Ucap Chatta dalam hati.
Sinar matahari menyambut pagi yang cerah ini. Cosmo terbangun, ia keluar untuk menghirup udara segarnya pantai.
“Selamat pagi cucuku”. Sapa nenek Gloria yang sedang duduk membaca koran sambil minum teh, di teras rumah.
“Pagi nenek. Muuah”. Cosmo mencium kening neneknya dan duduk disebelahnya.
“Kekasihmu itu pandai sekali memasak, sama seperti ibumu nak”. Ucap nenek Gloria.
“Huh? Kekasih?”. Cosmo heran.
“Nak Clover maksud nenek. Dia menyiapkan sarapan untuk kita”. Senyum nenek Gloria.
“Clover? Dia, kemana dia nek?”. Tanya Cosmo.
“Di pantai, dia pamit untuk bermain bersama anak-anak disana”. Jawab nenek.
“Bermain? Clover ... Nek aku harus menyusulnya”. Cosmo bergegas menyiapkan diri.
“Tenanglah nak, dia baik-baik saja”. Ujar nenek Gloria.
Clover sedang bermain gitar di pinggiran pantai bersama anak-anak yang ikut bernyanyi. Chatta datang menghampiri Clover, ia duduk didekatnya. Keduanya memandang ke arah laut. Anak-anak kembali berlari dan bermain.
“Sebenarnya apa yang terjadi Clover?”. Tanya Chatta.
“...” Clover tetap bernyanyi sambil memainkan gitarnya.
“Aku tahu kau tidak suka aku ikut campur urusanmu setidaknya dengan bercerita akan membuatmu sedikit tenang”. Chatta tersenyum dan menoleh ke arah Clover.
“...” Clover tetap bernyanyi tak peduli.
“Huff” Chatta menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kau tahu bagaimana bulan bercahaya?”. Clover menghentikan petikan gitarnya.
“Huh?” Chatta menoleh kepada Clover.
“Banyak yang mengatakan bulan terlihat cantik dari kejauhan, namun jika dilihat dari dekat bulan hanyalah sebuah bongkahan batu hitam, jelek, dan bopengan. Tetapi, jika ditempatkan di tempat yang tepat, bulan bercahaya. Itulah, bongkahan batu yang jelek yang menjalankan tugasnya memantulkan cahaya yang lembut dan indah”. Ucap Clover sambil memandang ke arah langit pagi yang cerah.
“Clover ...”. Ujar Chatta.
“Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk satu-satunya orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku rasa aku tidak akan pernah bisa seperti bulan”. Ujar Clover.
“Seseorang?”. Tanya Chatta.
“Ya, seseorang yang mewarnai kehidupanku dengan kasih sayangnya ...”
Flash back ...
Dia adalah kekasihku sejak aku duduk dibangku kelas 2 SMU, Neo Putra. Seorang Fotografer Usianya lebih tua satu tahun diatas aku. Waktu itu aku adalah gadis dingin, aku selalu menyendiri, duduk ditaman dengan sebuah pensil dan buku aku selalu menulis atau menggambar isi hatiku. Entah kenapa aku tahu, dia selalu memperhatikanku sejak itu. Entah bagaimana dia bisa menghampiriku. Gadis penyendiri di SMU Athens. Dia datang dengan dua eskrim coklat ditangannya, dia duduk disebelahku.
“Ini,, ambilah. Tadi aku sedang membeli eskrim, tidak sengaja aku melihatmu disini, jadi kubelikan ini untukmu” Ujar Neo tersenyum padaku.
“...” Aku hanya diam dan menoleh kearahnya.
“Ambilah, aku tidak ada maksud apa-apa”. Senyum Neo.
“Terimakasih”. Ucapku pelan sambil tersenyum kepadanya.
“Sama-sama”. Balasnya tersenyum.
Kami berdua menghabiskan eksrim itu bersama-sama. Entah bagaimana caranya dapat membuatku terbuka terhadapnya. Beberapa hari, minggu, bulan kami lewati bersama. Rasanya begitu indah, hangat, dan nyaman. Hingga satu tahun pertemanan itu, dia memintaku untuk menjadi seseorang yang mengisi hatinya.
“Clover, kau tahu, aku suka memotrek objek-objek yang menarik. Tapi kenapa akhir-akhir ini aku menemukan sesuatu yang berbeda dari biasanya”. Ujar Neo dengan nada penuh penasara. Ia memelukku dari belakang. Tangannya melingkar di perutku, sambil memainkan kameranya.
“Huh? Apa itu? Apa sesuatu yang menyeramkan Neo?”. Tanyaku sambil mengangkat pandanganku padanya.
“Bukan, bukan sesuatu yang menyeramkan. Sesuatu yang indah yang belum pernah kutemukan sepanjang hidupku ini”. Neo tersenyum sambil tangan kanannya berusaha menutup mataku.
“Neo!!! Ada apa?!!”. Ujarku setengah teriak manja.
“Jangan lihat”. Ujar Neo sambil tertawa melihatku sangat penasaran.
“Coba aku lihat, Neo”. Dia membuka mataku, dan kulihat di kameranya. Terdapat foto-fotoku saat piknik kecil ke kebun bunga kemarin bersamanya. Aku tersenyum dalam hati, aku tahu, aku sangat menyayanginya.
“Entah kenapa aku selalu ingin mengawasi dan menjagamu?. Kenapa pula aku bertanya? Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, karena inilah yang sebenarnya kurasakan”. Ujar Neo tersenyum dengan pandangan yang penuh dengan ketulusan itu.
“...”. Aku berbalik dan memeluknya. “Selama ini aku selalu merasa sendiri, tidak memiliki Ayah, Ibu, bahkan seorang temanpun. Tapi entah bagaimana kau datang dan mengisi kekosonganku itu. Kau seperti cahaya yang datang memberikan terang pada gelapku. Aku bersyukur tuhan telah mengirimkanku malaikat sepertimu, aku menyayangimu Neo”. Ujarku memeluknya erat sambil menangis. Dia mengusap airmataku, memegang kedua pipiku dan mengecup keningku dengan kehangatannya. Aku seperti bermimpi. Rasanya tak bisa aku katakan dan gambarkan.
Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, orangtua Neo berada di luar negeri. Entah mungkin dia juga merasa kesepian. Tapi kini aku senang, aku bahagia, bisa melihatnya selalu tersenyum. Neo berasal dari keluarga kaya, dulu kami sempat membuat panti asuhan anak-anak yatim-piatu. Kami berbagi kehangatan kan kebahagiaan itu bersama-sama mereka.
Entah sebagaimana langit putih yang suatu saat bisa menjadi gelap kelabu. Saat itu kami berjanji akan mengajar anak-anak panti asuhan bersama-sama. Namu sudah 2jam hingga acara mengajar selesai Neo tak datang juga. Aku mencoba menghubunginya tapi tak ada jawaban. Aku memutuskan untuk datang kerumahnya.
Aku menemukannya sedang tertidur di kasur kamarnya. Ku rapikan selimutnya menutupi badannya agar hangat. Sungguh wajah yang penuh kedamaian. Aku tak berani membangunkannya. Aku menunggunya terbangun, hingga akhirnya akupun duduk tertidur didekatnya. Hingga aku terbangun aku sudah berada di kasur sebuah kamar. Entah dimana, aku bangkit dan ku lihat Neo sedang berdiri diluar menatap langit, akupun menghampirinya.
“Neo?”. Tanyaku pelan.
“Kau sudah bangun Bulan?”. Neo menghampiriku. Entah apa yang ada dipikirannya. dia hanya berdiri disebelahku. Sambil menggenggam erat tanganku.
“Neo? Ada apa?”. Tanyaku menoleh kepadanya.
“Bulannya cantik bukan?”. Ujar Neo sambil menunjuk ke arah bulan dilangit malam.
“Iya, cantik”. Ujarku tersenyum senang.
“Sama sepertimu Clover. Kau tahu bagaimana bulan bercahaya?”. Ujar Neo menoleh ke arahku.
“Huh? Tidak? Aku tidak mau seperti bulan. Dari jauh memang cantik, tapi dari dekat bulan hanya bongkahan batu yang jelek”. Jawabku polos.
“Banyak yang mengatakan bulan terlihat cantik dari kejauhan, namun jika dilihat dari dekat bulan hanyalah sebuah bongkahan batu hitam, jelek, dan bopengan. Tetapi, jika ditempatkan di tempat yang tepat, bulan bercahaya. Itulah, bongkahan batu yang jelek yang menjalankan tugasnya memantulkan cahaya yang lembut dan indah”. Ujarnya sambil tersenyum.
“Ah? Apa benar aku bisa seperti bulan?”. Aku senang melihat senyumnya. Kadang Neo tersenyum sambil menutup matanya ^_^
“Tentu saja Clover. Kau adalah bulanku”. Balas Neo.
“Iya! Aku pasti bisa! Aku akan melakukan yang terbaik untuk semuanya! .” Aku hanya tersenyum malu.
“Semangat ya. Bulanku sayang”. Senyum Neo.
Keesokan harinya aku pulang. Dan beberapa hari ini aku sibuk mengurus persyaratan-persyaratanku masuk kuliah. Aku tahu, aku sangat merindukannya. Neo, apa kabarmu. Mengapa aku merasa sangat merindukanmu, aku ingin bertemu. Selama ini kami hanya berkomunikasi lewat Handphone saja. Namun kini aku memutuskan untuk datang kerumahnya.
Hanya ada paman dan bibi yang selalu menemani Neo dirumahnya.
“Bibi. Dimana Neo? Aku ingin menunjukan surat tanta terimaku di Universeitas Nusantara”. Tanyaku dengan perasaan senang karena aku berhasil masuk Universitas yang ku inginkan karena sama dengan Universitas Neo.
“Mmmh, Maaf non. Emhh”. Bibi agak ragu menjawabnya.
“Lho? Ada apa bibi? Apa yang terjadi?”. Tanyaku heran.
“Emmhh, ada non, Tuan Neo ada dikamarnya. Tapi dia”. Tak sempat melanjutkan perkataannya Clover langsung menemui Neo dikamarnya.
“Neo, lihatlah, aku berhasil !!!”. Aku masuk sambil memperlihatkan kertas penerimaan itu kearahnya. “NEO?!” Aku terkejut, melihat Neo terbaring lemas dikasurnya, dengan infus dan alat bantu lainnya yang terpasang ditubuhnya, meski dia tetap mencoba untuk tersenyum, aku melihat wajahnya yang pucat itu.
“Neo?! Apa yang terjadi padamu?”. Aku segera menghampirinya memeluknya sambil menangis.
“Clover. Jangan seperti itu. Tenanglah, aku baik-baik saja sayang”. Ujar Neo sambil mengusam-usap rambutku.
“Kamu tega. Kenapa tidak memberitahuku kalau kau sakit Neo? Kamu sakit apa?!”. Ujarku sambil menangis.
“Clover, aku baik-baik saja. Aku sakit leukimia. aku tidak ingin melihatmu sedih seperti ini. Aku ingin melihatmu tersenyum seperti biasanya. Aku ingin kamu fokus dengan kuliahmu sekarang”. Ujar Neo sambil tersenyum.
“Kau tega Neo, tidak memberi tahuku akan hal ini.Sekarang aku tak dapat melakukan apa-apa. Ap yang harus aku lakukan Neo. Neo, aku akan menjagamu, aku akan selalu disampingmu mukai saat ini. Aku tidak ingin meninggalkanmu lagi. Aku sangat merindukanmu Neo”. Ujarku menangis sambil memeluknya.
“Clover. Dekatkan telingamu sini”. Pinta Neo.
“...” Aku memeluknya. Ku dengar Neo berbisik lembut.
“Clover. Kalau aku pergi, tetaplah bercahaya seperti bulan. Karena cahayamu tidak hanya menjadi penerang bagiku, tapi juga bagi semua orang”. Bisik Neo lalu mengecup keningku dengan lembut.
“Neo. Aku berjanji, aku akan selalu melakukan yang terbaik. Karena kamu selalu memberikan semangat untukku Neo. Aku mohon jangan berkata seperti itu”. Ujarku.
“Terimakasih Bulanku”. Ucapnya lemas. Neo, mengusap airmataku dan memintaku untuk tetap tersenyum.
Aku mencoba tetap tegar, aku akan menjaga dan merawat Neo, agar Neo dapat pulih kembali. Kami berbincang-bincang seputar kisah-kisah lalu, hal-hal terindah setiap hari bersama Neo, juga tentang usahaku yang sekarang dapat satu kampus dengan Neo. Sampai akhirnya kami tertidur, aku mengecup pipi dan keningnya dengan lembut.
Aku tidak percaya, hari itu datang.
Hari dimana aku membuka mata untuk yang pertama kalinya ...
Neo ...
Pergi dari kehidupanku, untuk selamanya ...
Hari dimana aku kembali menjadi seorang pendiam. Aku tidak percaya hari itu datang, dimana warna-warna dalam hidupku, kembali menjadi kelabu. Aku tidak percaya, pagi itu datang menjemputnya, Ya Allah, mengapa Engkau ambil Malaikatmu ini sangat cepat sekali dari kehidupanku.
Terbujur kaku, tubuh yang bercayaha disampingku, Neo yang ku sayang sejak pertama aku mengenalnya. Neo, yang selalu mengambil fotoku diam-diam. Neo, yang selalu membuatku ceria, Neo, yang selalu mencintaiku tanpa alasan apapun ... aku selalu teringat ...
Saat itu
“Neo, kenapa kamu memperhatikanku terus”. Ucapku sambil menggambar.
“Aku tidak tahu Clover. Rasanya nyaman sekali”. Jawabnya.
“Huh?” Aku kembali menggambar.
“Clover, sini tanganmu?!”. Pinta Neo.
“Eh? Kenapa?”. Tanyaku heran sambil mengulurkan tanganku.
“Aku tidak tahu bagaimana cara romantis utnuk mengatakannya. Intinya (Neo berbisik) Aku mencintaimu, Bulanku”. Bisiknya, sambil memasangkan sebuah cincin cantik di jari manisku. Aku lihat dia juga memakai cincin yang sama denganku.
Neo, aku sangat berterimakasih. Kau membuka mataku yang selama ini tertutup oleh kekosonganku. Neo, kau tidak pernah menunjukan kecemburuanmu, disaat aku berbagi, belajar, dan bermain bersama teman-teman lain. Meski ku tahu Neo, aku bisa melihat ccemburumu itu dibalik senyummu. Neo, aku bahkan belum sempat mengucapkan “aku mencintaimu Neo” Aku sangat bersyukur, Tuhan telah mengirimkan Malaikat tampan sepertimu. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik, walau tanpamu, disini. Neo. Saat itu aku hanya diam dengan penyesalanku, dibalik kekosongan ini. Sekali lagi aku hanya tersenyum, mengingat semua hal-hal indah yang telah kita lewati. Hanya aku dan kesunyian yang menyelimutiku, disini, bersama nisanmu yang dingin membeku. Seumur hidupku. Aku akan selalu, mencintaimu ... Neo Putra.
Beberapa hari bibi dan paman memintaku datang kerumah alm. Neo. Aku masuk kedalam ruangan cetak foto. Studio Neo. Ku lihat semua foto tergantung, tertempel, bahkan berserakan, adapun yang terbingkai rapi. Semua itu adalah fotoku. Neo, tidak ku sangka. Aku hanya bisa menangis melihat semuanya. Tersimpan rapi kamera yang selalu kamu gunakan. Aku selalu merasa kau, ada, dan selalu ada, disini. Bersamaku
“Clover?!! Haaah !”. Cosmo terbangun dari tidurnya diruang tengah rumah Clover.
“Cosmo? Kau tidak apa-apa?”. Tanya Clover sambil memberikan air putih pada Cosmo.
“Tidak, aku, aku hanya bermimpi, huff”. Cosmo menarik nafas panjang.
“Kamu mimpi apa Cosmo?”. Clover menatap kearah Cosmo.
“Aku, bermimpi kamu memiliki sayap Clov”. Cosmo menatap Clover heran.
“Hah? Hahahaha, ya ampun, sudahlah itu artinya kau teralu lelah. Apa kita akan tetap menghabiskan libur akhir pekan ini?”. Tanya clover tersenyum ragu.
“Yah, tentu saja. Aku muak teralu lama berada di kota yang memuakkan ini”. Cosmo berdiri mengangkat kedua tangannya keatas, mengekspresikan semangatnya.
“Tidak perlu seperti itu. Bawa barang-barangnnya ke bagasi mobil! Dia yang menang!”. Clover berlari sambil membawa barang-barangnnya.
“Hei ! Arghh kau curang Clover!!”. Cosmo berlari tertatih-tatih karena membawa barang-barang yang sangat berat.
Mereka berdua tertawa, bercerita sepanjang perjalanan. Tujuan pertama mereka ke Pantai Couldy Born. Sesampainya disana mereka menginap di rumah nenek Cosmo yang bernama nenek Gloria yang lumayan berada di dekat pantai. Cosmo dan Clover segera membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk acara api unggun.
“Assalamualaikum. Nenek?!”. Cosmo memeluk neneknya.
“Wa’alaikumsalam. Akhirnya cucuku tersayang berkunjung juga kesini. Sekarang kau sudah dewasa ya nak. Dengan siapa kamu kemari?”. Nenek Cosmo menoleh ke arah Clover.
“Nenek Gloria”. Clover memberi salam kepadak nenek Gloria.
“Cantik sekali, benar apa kata cucuku, kamu mirip sekali dengan almarhum ibunya. Bulan”. Nenek Gloria meraba-raba wajah Clover.
“Ehmm. Terimakasih nenek”. Clover tersenyum kecil.
“Nenek, sudahlah. Clover perlu istirahat dulu. Lagipula kami akan bersiap-siap untuk membuat api unggun di pantai”. Cosmo menepuk-nepuk poni Clover.
“Cosmo hentikan”. Clover mengangkat tas-tasnya dan menuju ke kamar.
“Hahaha, kalian ini. Nenek masak dulu kalau begitu”. Nenek Gloria bergegas ke dapur.
Setelah mengganti baju Clover keluar, dia melangkah lembut menginjak pasir-pasir putih pantai, sesekali menyentuh air. Angin yang berhembus, menghempaskan rambutnya yang hitam lurus-ikal. Sepanjang langkah Clover hanya memandang ombak.
“Kalau aku pergi, tetaplah bercahaya seperti bulan. Karena cahayamu tidak hanya menjadi penerang dihatiku, tapi juga bagi semua orang”.
Clover teringat kata-kata yang diucapkan oleh almarhum kekasihnya. Clover memandang kosong ke arah laut. Mengingat-ingat masa lalu yang kembali mengahantui kerinduannya. Tak lama seseorang memakaikan jaket menutupi dress putih Clover.
“Terimakasih Cosmo”. Ucap Clover lembut.
“Apa yang kau pikirkan?”. Tanya Cosmo yang berdiri disamping kanan Clover.
“Entahlah”. Clover tetap memandang kosong ke arah laut.
“Sudahlah. Kita kan datang kasini untuk melepas penat. Ikutlah denganku”. Cosmo menggenggam tangan Clover dan menariknya ke tempat api unggun.
“Ah?”. Clover heran.
Sesampainya ketempat api unggun, terlihat beberapa orang yang ramai sedang berdansa dan bernyanyi penuh kehangatan. Melihat Clover yang hanay diam Cosmo mengajaknya berdansa.
“Ulurkan tanganmu?!”. Pinta Cosmo.
“Huh?”. Clover bingung.
“...”. Cosmo memegang tangannya dan mereka berdansa perlahan-lahan.
“...”. Wajah Clover begitu dekat dengan wajah Cosmo.
“Kenapa?”. Tanya Cosmo tersenyum.
“Tidak”. Clover menjawab.
Mereka saling bertatapan. Entah apa yang masing-masing pikirkan. Suasana terasa hening. Angin yang berhembus semakin dingin.
“...”
Akhirnya keduanya saling memeluk satu sama lain. Clover memluk Cosmo erat, dan Cosmo pun memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya.
“Aku sangat merindukannya Cosmo”. Ucap Clover sendu.
“Sudahlah, dia tidak ingin melihatmu seperti ini terus”. Jawab Cosmo berbisik ditelinga Clover.
“Aku merasa tidak berguna, aku tidak dapat melakukan apa-apa, aku ..”. Clover mengeluarkan airmata.
“Sudah! Hentikan! Kamu adalah Clover, Clover yang kuat!”. Cosmo memeluknya erat.
“Aku sangat merindukannya”. Clover menangis.
“Hei, Clover, dengarkan aku”. Cosmo memengang kedua pipi Clover, menatapnya.
“...”. Clover hanya diam dan tetap mengeluarkan airmatanya.
“Dengar. Aku tahu kau sangat merindukannya. Aku yakin dia juga merindukanmu disana. Dengar, kau ingin melihatnya bahagia disana?”. Tanya Cosmo lembut.
“...” Clover mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca.
“Berjanji akan tetap kuat dan melakukan yang terbaik. Dia akan pasti bahagia disana jika dia melihatmu menjalani kehidupanmu dengan penuh semangat dan selalu tersenyum”. Ucap Cosmo.
“Iya. Aku mengerti”. Jawab Clover.
“...”. Cosmo menghapus airmata Clover sambil tersenyum.
“Terimakasih Cosmo”. Senyum Clover.
Chatta yang sejak tadi memperhatikan keduanya diantara keramaian orang-orang, dia tersenyum kepada Cosmo. Cosmo yang sadar akan keberadaan Chatta segera menghampirinya.
“Clover, kau tunggu disini”. Cosmo menepuk poni Clover dan pergi.
“Kau mau kemana?”. Tanya Clover.
“Aku melihat Chatta”. Jawab Cosmo.
Cosmo menghampiri Chatta, namun Chatta menghilang. Cosmo merasakan keberadaanya.
“Cosmo!!!!”. Chatta memeluk Cosmo dari belakang.
“Chatta!!! Lepaskan aku!!! Kau ini”. Cosmo mencoba melapaskan pelukannya.
“Wah, nampaknya ada yang sedang berbunga-bunga ya?”. Tanya Chatta dengan nada cemburu.
“Maksudmu?”. Cosmo menatap penuh kesal.
“Eh, Eh, iya maaf. Aku ...”. Chatta menunduk sambil memainkan jari-jarinya.
“Mau apa kau mengikutiku?”. Cosmo bertanya.
“Aku ingin ikut bersama kalian, tapi sepertinya aku mengganggu, yasudah aku pergi saja”. Chatta membalikkan badannya, baru saja sekali melangkah, Cosmo sudah memanggilnya, Chatta tersenyum dalam hati.
“Tunggu!”. Cosmo memanggil Chatta.
“Eh?”. Chatta berhenti melangkah.
“Maukah kau membantuku?”. Tanya Cosmo.
“Tentu, apa itu Cosmo?”. Dengan senangnya Chatta menjawab menghampiri Cosmo.
“Dekati Clover, buat dia kembali ceria”. Cosmo menepuk bahu Chatta lalu pergi.
“...”. Chatta hanya terdiam mendengar itu.
“Kau tahu Cosmo, aku harap aku bisa menjadi seseorang yang istimewa bagimu. Sama seperti Clover”. Ucap Chatta dalam hati.
Sinar matahari menyambut pagi yang cerah ini. Cosmo terbangun, ia keluar untuk menghirup udara segarnya pantai.
“Selamat pagi cucuku”. Sapa nenek Gloria yang sedang duduk membaca koran sambil minum teh, di teras rumah.
“Pagi nenek. Muuah”. Cosmo mencium kening neneknya dan duduk disebelahnya.
“Kekasihmu itu pandai sekali memasak, sama seperti ibumu nak”. Ucap nenek Gloria.
“Huh? Kekasih?”. Cosmo heran.
“Nak Clover maksud nenek. Dia menyiapkan sarapan untuk kita”. Senyum nenek Gloria.
“Clover? Dia, kemana dia nek?”. Tanya Cosmo.
“Di pantai, dia pamit untuk bermain bersama anak-anak disana”. Jawab nenek.
“Bermain? Clover ... Nek aku harus menyusulnya”. Cosmo bergegas menyiapkan diri.
“Tenanglah nak, dia baik-baik saja”. Ujar nenek Gloria.
Clover sedang bermain gitar di pinggiran pantai bersama anak-anak yang ikut bernyanyi. Chatta datang menghampiri Clover, ia duduk didekatnya. Keduanya memandang ke arah laut. Anak-anak kembali berlari dan bermain.
“Sebenarnya apa yang terjadi Clover?”. Tanya Chatta.
“...” Clover tetap bernyanyi sambil memainkan gitarnya.
“Aku tahu kau tidak suka aku ikut campur urusanmu setidaknya dengan bercerita akan membuatmu sedikit tenang”. Chatta tersenyum dan menoleh ke arah Clover.
“...” Clover tetap bernyanyi tak peduli.
“Huff” Chatta menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kau tahu bagaimana bulan bercahaya?”. Clover menghentikan petikan gitarnya.
“Huh?” Chatta menoleh kepada Clover.
“Banyak yang mengatakan bulan terlihat cantik dari kejauhan, namun jika dilihat dari dekat bulan hanyalah sebuah bongkahan batu hitam, jelek, dan bopengan. Tetapi, jika ditempatkan di tempat yang tepat, bulan bercahaya. Itulah, bongkahan batu yang jelek yang menjalankan tugasnya memantulkan cahaya yang lembut dan indah”. Ucap Clover sambil memandang ke arah langit pagi yang cerah.
“Clover ...”. Ujar Chatta.
“Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk satu-satunya orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku rasa aku tidak akan pernah bisa seperti bulan”. Ujar Clover.
“Seseorang?”. Tanya Chatta.
“Ya, seseorang yang mewarnai kehidupanku dengan kasih sayangnya ...”
Flash back ...
Dia adalah kekasihku sejak aku duduk dibangku kelas 2 SMU, Neo Putra. Seorang Fotografer Usianya lebih tua satu tahun diatas aku. Waktu itu aku adalah gadis dingin, aku selalu menyendiri, duduk ditaman dengan sebuah pensil dan buku aku selalu menulis atau menggambar isi hatiku. Entah kenapa aku tahu, dia selalu memperhatikanku sejak itu. Entah bagaimana dia bisa menghampiriku. Gadis penyendiri di SMU Athens. Dia datang dengan dua eskrim coklat ditangannya, dia duduk disebelahku.
“Ini,, ambilah. Tadi aku sedang membeli eskrim, tidak sengaja aku melihatmu disini, jadi kubelikan ini untukmu” Ujar Neo tersenyum padaku.
“...” Aku hanya diam dan menoleh kearahnya.
“Ambilah, aku tidak ada maksud apa-apa”. Senyum Neo.
“Terimakasih”. Ucapku pelan sambil tersenyum kepadanya.
“Sama-sama”. Balasnya tersenyum.
Kami berdua menghabiskan eksrim itu bersama-sama. Entah bagaimana caranya dapat membuatku terbuka terhadapnya. Beberapa hari, minggu, bulan kami lewati bersama. Rasanya begitu indah, hangat, dan nyaman. Hingga satu tahun pertemanan itu, dia memintaku untuk menjadi seseorang yang mengisi hatinya.
“Clover, kau tahu, aku suka memotrek objek-objek yang menarik. Tapi kenapa akhir-akhir ini aku menemukan sesuatu yang berbeda dari biasanya”. Ujar Neo dengan nada penuh penasara. Ia memelukku dari belakang. Tangannya melingkar di perutku, sambil memainkan kameranya.
“Huh? Apa itu? Apa sesuatu yang menyeramkan Neo?”. Tanyaku sambil mengangkat pandanganku padanya.
“Bukan, bukan sesuatu yang menyeramkan. Sesuatu yang indah yang belum pernah kutemukan sepanjang hidupku ini”. Neo tersenyum sambil tangan kanannya berusaha menutup mataku.
“Neo!!! Ada apa?!!”. Ujarku setengah teriak manja.
“Jangan lihat”. Ujar Neo sambil tertawa melihatku sangat penasaran.
“Coba aku lihat, Neo”. Dia membuka mataku, dan kulihat di kameranya. Terdapat foto-fotoku saat piknik kecil ke kebun bunga kemarin bersamanya. Aku tersenyum dalam hati, aku tahu, aku sangat menyayanginya.
“Entah kenapa aku selalu ingin mengawasi dan menjagamu?. Kenapa pula aku bertanya? Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, karena inilah yang sebenarnya kurasakan”. Ujar Neo tersenyum dengan pandangan yang penuh dengan ketulusan itu.
“...”. Aku berbalik dan memeluknya. “Selama ini aku selalu merasa sendiri, tidak memiliki Ayah, Ibu, bahkan seorang temanpun. Tapi entah bagaimana kau datang dan mengisi kekosonganku itu. Kau seperti cahaya yang datang memberikan terang pada gelapku. Aku bersyukur tuhan telah mengirimkanku malaikat sepertimu, aku menyayangimu Neo”. Ujarku memeluknya erat sambil menangis. Dia mengusap airmataku, memegang kedua pipiku dan mengecup keningku dengan kehangatannya. Aku seperti bermimpi. Rasanya tak bisa aku katakan dan gambarkan.
Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, orangtua Neo berada di luar negeri. Entah mungkin dia juga merasa kesepian. Tapi kini aku senang, aku bahagia, bisa melihatnya selalu tersenyum. Neo berasal dari keluarga kaya, dulu kami sempat membuat panti asuhan anak-anak yatim-piatu. Kami berbagi kehangatan kan kebahagiaan itu bersama-sama mereka.
Entah sebagaimana langit putih yang suatu saat bisa menjadi gelap kelabu. Saat itu kami berjanji akan mengajar anak-anak panti asuhan bersama-sama. Namu sudah 2jam hingga acara mengajar selesai Neo tak datang juga. Aku mencoba menghubunginya tapi tak ada jawaban. Aku memutuskan untuk datang kerumahnya.
Aku menemukannya sedang tertidur di kasur kamarnya. Ku rapikan selimutnya menutupi badannya agar hangat. Sungguh wajah yang penuh kedamaian. Aku tak berani membangunkannya. Aku menunggunya terbangun, hingga akhirnya akupun duduk tertidur didekatnya. Hingga aku terbangun aku sudah berada di kasur sebuah kamar. Entah dimana, aku bangkit dan ku lihat Neo sedang berdiri diluar menatap langit, akupun menghampirinya.
“Neo?”. Tanyaku pelan.
“Kau sudah bangun Bulan?”. Neo menghampiriku. Entah apa yang ada dipikirannya. dia hanya berdiri disebelahku. Sambil menggenggam erat tanganku.
“Neo? Ada apa?”. Tanyaku menoleh kepadanya.
“Bulannya cantik bukan?”. Ujar Neo sambil menunjuk ke arah bulan dilangit malam.
“Iya, cantik”. Ujarku tersenyum senang.
“Sama sepertimu Clover. Kau tahu bagaimana bulan bercahaya?”. Ujar Neo menoleh ke arahku.
“Huh? Tidak? Aku tidak mau seperti bulan. Dari jauh memang cantik, tapi dari dekat bulan hanya bongkahan batu yang jelek”. Jawabku polos.
“Banyak yang mengatakan bulan terlihat cantik dari kejauhan, namun jika dilihat dari dekat bulan hanyalah sebuah bongkahan batu hitam, jelek, dan bopengan. Tetapi, jika ditempatkan di tempat yang tepat, bulan bercahaya. Itulah, bongkahan batu yang jelek yang menjalankan tugasnya memantulkan cahaya yang lembut dan indah”. Ujarnya sambil tersenyum.
“Ah? Apa benar aku bisa seperti bulan?”. Aku senang melihat senyumnya. Kadang Neo tersenyum sambil menutup matanya ^_^
“Tentu saja Clover. Kau adalah bulanku”. Balas Neo.
“Iya! Aku pasti bisa! Aku akan melakukan yang terbaik untuk semuanya! .” Aku hanya tersenyum malu.
“Semangat ya. Bulanku sayang”. Senyum Neo.
Keesokan harinya aku pulang. Dan beberapa hari ini aku sibuk mengurus persyaratan-persyaratanku masuk kuliah. Aku tahu, aku sangat merindukannya. Neo, apa kabarmu. Mengapa aku merasa sangat merindukanmu, aku ingin bertemu. Selama ini kami hanya berkomunikasi lewat Handphone saja. Namun kini aku memutuskan untuk datang kerumahnya.
Hanya ada paman dan bibi yang selalu menemani Neo dirumahnya.
“Bibi. Dimana Neo? Aku ingin menunjukan surat tanta terimaku di Universeitas Nusantara”. Tanyaku dengan perasaan senang karena aku berhasil masuk Universitas yang ku inginkan karena sama dengan Universitas Neo.
“Mmmh, Maaf non. Emhh”. Bibi agak ragu menjawabnya.
“Lho? Ada apa bibi? Apa yang terjadi?”. Tanyaku heran.
“Emmhh, ada non, Tuan Neo ada dikamarnya. Tapi dia”. Tak sempat melanjutkan perkataannya Clover langsung menemui Neo dikamarnya.
“Neo, lihatlah, aku berhasil !!!”. Aku masuk sambil memperlihatkan kertas penerimaan itu kearahnya. “NEO?!” Aku terkejut, melihat Neo terbaring lemas dikasurnya, dengan infus dan alat bantu lainnya yang terpasang ditubuhnya, meski dia tetap mencoba untuk tersenyum, aku melihat wajahnya yang pucat itu.
“Neo?! Apa yang terjadi padamu?”. Aku segera menghampirinya memeluknya sambil menangis.
“Clover. Jangan seperti itu. Tenanglah, aku baik-baik saja sayang”. Ujar Neo sambil mengusam-usap rambutku.
“Kamu tega. Kenapa tidak memberitahuku kalau kau sakit Neo? Kamu sakit apa?!”. Ujarku sambil menangis.
“Clover, aku baik-baik saja. Aku sakit leukimia. aku tidak ingin melihatmu sedih seperti ini. Aku ingin melihatmu tersenyum seperti biasanya. Aku ingin kamu fokus dengan kuliahmu sekarang”. Ujar Neo sambil tersenyum.
“Kau tega Neo, tidak memberi tahuku akan hal ini.Sekarang aku tak dapat melakukan apa-apa. Ap yang harus aku lakukan Neo. Neo, aku akan menjagamu, aku akan selalu disampingmu mukai saat ini. Aku tidak ingin meninggalkanmu lagi. Aku sangat merindukanmu Neo”. Ujarku menangis sambil memeluknya.
“Clover. Dekatkan telingamu sini”. Pinta Neo.
“...” Aku memeluknya. Ku dengar Neo berbisik lembut.
“Clover. Kalau aku pergi, tetaplah bercahaya seperti bulan. Karena cahayamu tidak hanya menjadi penerang bagiku, tapi juga bagi semua orang”. Bisik Neo lalu mengecup keningku dengan lembut.
“Neo. Aku berjanji, aku akan selalu melakukan yang terbaik. Karena kamu selalu memberikan semangat untukku Neo. Aku mohon jangan berkata seperti itu”. Ujarku.
“Terimakasih Bulanku”. Ucapnya lemas. Neo, mengusap airmataku dan memintaku untuk tetap tersenyum.
Aku mencoba tetap tegar, aku akan menjaga dan merawat Neo, agar Neo dapat pulih kembali. Kami berbincang-bincang seputar kisah-kisah lalu, hal-hal terindah setiap hari bersama Neo, juga tentang usahaku yang sekarang dapat satu kampus dengan Neo. Sampai akhirnya kami tertidur, aku mengecup pipi dan keningnya dengan lembut.
Aku tidak percaya, hari itu datang.
Hari dimana aku membuka mata untuk yang pertama kalinya ...
Neo ...
Pergi dari kehidupanku, untuk selamanya ...
Hari dimana aku kembali menjadi seorang pendiam. Aku tidak percaya hari itu datang, dimana warna-warna dalam hidupku, kembali menjadi kelabu. Aku tidak percaya, pagi itu datang menjemputnya, Ya Allah, mengapa Engkau ambil Malaikatmu ini sangat cepat sekali dari kehidupanku.
Terbujur kaku, tubuh yang bercayaha disampingku, Neo yang ku sayang sejak pertama aku mengenalnya. Neo, yang selalu mengambil fotoku diam-diam. Neo, yang selalu membuatku ceria, Neo, yang selalu mencintaiku tanpa alasan apapun ... aku selalu teringat ...
Saat itu
“Neo, kenapa kamu memperhatikanku terus”. Ucapku sambil menggambar.
“Aku tidak tahu Clover. Rasanya nyaman sekali”. Jawabnya.
“Huh?” Aku kembali menggambar.
“Clover, sini tanganmu?!”. Pinta Neo.
“Eh? Kenapa?”. Tanyaku heran sambil mengulurkan tanganku.
“Aku tidak tahu bagaimana cara romantis utnuk mengatakannya. Intinya (Neo berbisik) Aku mencintaimu, Bulanku”. Bisiknya, sambil memasangkan sebuah cincin cantik di jari manisku. Aku lihat dia juga memakai cincin yang sama denganku.
Neo, aku sangat berterimakasih. Kau membuka mataku yang selama ini tertutup oleh kekosonganku. Neo, kau tidak pernah menunjukan kecemburuanmu, disaat aku berbagi, belajar, dan bermain bersama teman-teman lain. Meski ku tahu Neo, aku bisa melihat ccemburumu itu dibalik senyummu. Neo, aku bahkan belum sempat mengucapkan “aku mencintaimu Neo” Aku sangat bersyukur, Tuhan telah mengirimkan Malaikat tampan sepertimu. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik, walau tanpamu, disini. Neo. Saat itu aku hanya diam dengan penyesalanku, dibalik kekosongan ini. Sekali lagi aku hanya tersenyum, mengingat semua hal-hal indah yang telah kita lewati. Hanya aku dan kesunyian yang menyelimutiku, disini, bersama nisanmu yang dingin membeku. Seumur hidupku. Aku akan selalu, mencintaimu ... Neo Putra.
Beberapa hari bibi dan paman memintaku datang kerumah alm. Neo. Aku masuk kedalam ruangan cetak foto. Studio Neo. Ku lihat semua foto tergantung, tertempel, bahkan berserakan, adapun yang terbingkai rapi. Semua itu adalah fotoku. Neo, tidak ku sangka. Aku hanya bisa menangis melihat semuanya. Tersimpan rapi kamera yang selalu kamu gunakan. Aku selalu merasa kau, ada, dan selalu ada, disini. Bersamaku
Neo meninggalkan surat ...
Untuk bulanku tersayang ...
Mungkin saat membaca surat ini aku tidak ada disampingmu lagi. Aku berterimakasih, atas hari-hari terindahku bersamamu. Bulan, aku ingin kau tetap bercahaya seperti bulan. Karena cahayamu tidak hanya menjadi penerang bagiku, tapi juga bagi semua orang disekitarmu. Bulan, aku mungkin tak pandai merangkai kata. Aku titip rumah kita, bibi, paman, panti asuhan, dan cintaku selalu ada disetiap hari-harimu. A peace, a love to you. I love you.
Here ,beloved Neo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Surat Untuk Syf