Sabtu, 18 Mei 2013

Flash Fiction: Rahasia!

Baca juga seri lainnya DISINI
Written by Bulan Kecil

“Jadi, inilah akhirnya?” Jawab Clara dengan airmatanya yang tak terbendu lagi.
"Kita gak pernah mengakhiri semua ini. Karena kita gak pernah memulainya." Jawab Farel tersenyum kecil, sambil menepuk kedua bahu Clara.
“Iya... Kamu bener. Kita gak pernah memulainya sama sekali. Maafin aku Rel.” Airmata Clara menetes.  
"Aku juga minta maaf, gak seharusnya kita saling memaksakan diri." Jawab Farel bijak.
"Aku gak tau harus gimana. Tapi, ayo kita mulai semuanya dari awal lagi.” Ucap Clara dengan nada perih.
“Makasih. Tapi aku gak bisa. Aku gak mau kehilangan orang yang menyayangiku dengan tulus. Aku yakin, kamu pasti akan segera bertemu dengan orang yang tepat. Aku harus pergi, good luck ya!” Jawab Farel, sambil mencium kening Clara.
                Baru aja aku mau kasih misting isi pasta buat kamu. Tapi ternyata kamu sedang bertukar rindu dengan malaikatmu ya Rel.
“Ternyata... Maafin aku ya, aku udah jahat banget... Aku bakal coba. Ya, harus... Aku harus bisa menghapus perasaan ini.” Airmataku tak dapat lagi tertahankan.

And then...

                Duduk diam di bangku taman, telunjukku tak henti mengetuk-ngetuk misting yang ku pegang dari tadi. Aku menunduk dengan tatapan kosong, wajah yang kusut, mengurangi selera makanku di siang itu.
“Hufft, hari ini, aku makan siang sendiri lagi. Padahal, aku udah bawa pasta. Hmm, yaudah deh, selamat makan!”
Ku buka mistingku, satu suap... dua suap... tiga suap... aku mengangguk-anggukan kepalaku sendiri.
“Maafin aku ya, aku udah jahat banget.”
Empat suap... Lima suap... Enam suap... aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri.
“Enggak! Enggak! Enggak! Aku yang terlalu banyak berharap! Hufft!”
Tujuh suap... Delapan suap... Sembilan suap... Tinggal terseisa satu suap lagi beef pasta cheese sauces buatanku. Aku tersenyum, mencoba menikmati suapan terakhirku ini. Sepu... Tiba-tiba...
“Pasta punya aku mana?” Ujar seseorang. Lalu, aku menoleh ke arah kananku.
“Haaam! Nyam... Nyam... Nyam!” Habis sudah pasta buatanku itu. Dengan wajah datar sambil mengunyah pasta, aku tidak bersuara.
“Yaaaah! Pastaku!” Ujar seseorang dengan nada kecewa. Ya, itu kamu, Farel.
“Maaf ya.” Ujarku sambil tersenyum kecil.
Kamu tau Farel? Saat itu aku bingung. Apa aku harus merasa takut? Atau merasa senang? Aku takut, aku gak bisa menghapus perasaan ini. Tapi aku juga senang, aku senang karena kamu datang. Jadi aku harus bagaimana Rel?
“Padahal aku ngidam itu lho dari semalem. Tapi gak apa-apa deh, aku seneng karena kamu jadi banyak makan akhir-akhir ini.” Jawabmu tersenyum sambil menepuk-nepuk poni rambutku.
Sekali lagi, aku hanya bisa terdiam. Aku bingung. Tapi, cinta itu...
“Aku baru makan kok. Lagi pula, aku emang masak pasta ini buat sendiri.” Senyumku padanya.
“Hah? Jadi itu bukan buat aku ya? Ternyata,
“Hahaha, Baiklah kalau gitu, ini punya kamu! Tanpa bawang, tanpa saos tomat, dan kejunya banyak!” Ujarku tersenyum, sambil mengeluarkan kotak misting dari dalam tasku, lalu ku berikan padanya.
“Sudah ku duga! You’re my real angel!” Tegas Farel tersenyum lebar, sambil membuka kotak misting dariku, dan mulai mencicipinya.
Satu suap... dua suap... tiga suap... aku terus memperhatikanmu makan sambil tersenyum.
“Hmm! Enak! Kamu emang paling bisa ya! Eh, anyway ada mantranya gak nih?” Tanya Farel sambil mengunyah pasta yang penuh di mulutnya.
“Mantra? Enggak kok.” Jawabku agak bingung.
“Tapi kok aku selalu ngerasa seneng sih tiap makan pasta buatan kamu?” Tanya Farel heran.
“Oh, itu. Ada bumbu rahasianya!” Jawabku tersenyum.
“Apa tuh? Cinta ya?” Jawabnya agak sedikit menggoda.
“Hmmm, somethings like that. Ada harapan yang aku simpan disitu, aku harap, dia yang memakannya akan merasa senang dan semangat dalam menjalani hari-harinya.” Jawabku sambil tersenyum padanya. Dia berhenti menyuapkan pasta ke mulutnya, lalu menghadap kearahku sambil tersenyum.
“Kalau harapan yang kamu simpen diantara kita?” Tanya Farel, dengan tatapan yang dalam.
“Hmm... Itu...” Jawabku ragu.
“Itu?” Dia semakin mendekat kewajahku.
“Itu rahasia!” Bisikku ke telinganya.

Saat itu juga aku pergi, dan saat itu juga kamu tersenyum...
Jadi? Harapan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Syf