MAHASISWA.
Agen perubahan? Generasi penerus bangsa? Manusia super? Banyak sekali istilah
yang digunakan untuk menggambarkan betapa hebatnya mereka yang bernama
mahasiswa. Namun kenyataannya, di jaman sekarang ini, istilah itu perlahan
semakin jauh dari esensi mahasiswa itu sendiri.
"Pemuda dalam hal ini mahasiswa, adalah sosok yang
paling dinamis dan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa. Pemuda selalu
hadir untuk memberikan sumbangan yang bermakna bagi bangsa Indonesia. Ia selalu
tampil untuk menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan menentang
segala bentuk ketidakadilan pada zamannya”. Petikan kalimat ini adalah bisa
dikatakan sebagai dasar mahasiswa untuk menyadari betul bahwa, secara historis,
mahasiswa selalu mempunyai peran besar dalam penentuan sekaligus perbaikan arah
bangsa ini.
Merosotnya
pendidikan baik secara akademik maupun secara moral, sebagian besar juga
terjadi di kalangan mahasiswa atau perguruan tinggi. Jiwa seorang mahasiswa itu
seolah redup. Penyimpangan moral, KKN, pergaulan bebas, dll seolah mendominasi
dan mencoba mempengaruhi jiwa-jiwa muda ini. Adakah cara bagaimana mengatasi
kemerosotan moral atau karakter mahasiswa itu sendiri? Salah satunya yang perlu
dibenahi adalah dengan pendidikan karakter di dalam perguruan tinggi itu
sendiri.
Guna
memperbaiki moralitas dan karakter
mahasiswa beserta seluruh civitas akademika perguruan tinggi, maka sudah
semestinya pendidikan karakter diimplementasikan sekaligus menjadi ruh
perguruan tinggi. Umumnya, perguruan tinggi tersebut memiliki mutu dan kualitas
manajemen yang baik pula. Namun, masih banyak perguruan tinggi yang sebagian
staf pengajarnya tidak peduli dengan perilaku mahasiswanya. Ironisnya lagi,
mungkin diantara para pengajar atau dosen sendiri tidak saling mengenal dengan
baik, nyaris tidak ada kepedulian dan penghormatan.
Kerangka
umum dalam masyarakat akademik perguruan tinggi, menurut Djoko Santoso (2012) terdiri atas dua unsur utama, yaitu dosen dan
mahasiswa. Mereka ada dalam lingkungan akademik yang didukung para tenaga
kependidikan, infrastruktur pendukung, dan program-program. Kedua unsur
tersebut harus memiliki orientasi kearah perkembangan budaya akademik. Secara
praktis mereka akan diikat dalam etika akademik yang tumbuh dari nilai-nilai
luhur dan berujung pada terbentuk budaya akademik.
Meski
demikian, lanjut Djoko Santoso, Patut dipahami latar belakang keseluruhan unsur
yang ada dan lebih dicermati lagi dinamika eksternal kampus. Didalam pelaksanaannya, inti kegiatan
diperguruan tinggi ialah, Tridharma Perguruan Tinggi, sehingga semua kegiatan
pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan dengan
berkarakter. Jika terjadi, akan ada dalam pembiasaan kehidupan keseharian di
kampus yang mejadi budaya kampus. Dengan demikian, terwujudlah kegiatan
keseharian yang berkarakter di kampus dan di lingkungan sekitarnya.
Melalui
implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi yang efektif
diharapkan terlahir model pendidikan
yang bermakna bagi mahasiswanya; tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan
kognitif, tetapi juga afektif, dan konatif pada kelompok bahan ajar keahlian
dan keterampilan.
Secara
terperinci fungsi pendidikan karakter di
perguruan tinggi menurut Agus Wibowo (2012:142-143) adalah: Pertama,
pembentukan dan pengembangan potensi mahasiswa. Yaitu sebuah upaya
untuk membentuk dan mengembangkan manusia dan WNI dalam berpikiran, berhati,
dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah Pancasila.
Kedua,
perbaikan
dan penguatan. Yaitu upaya memperbaiki
karakter manusia dan WNI yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga,
satuan pendidikan di perguruan tinggi sendiri, masyarakat, dan pemerintah,
untuk berpartisipasi dan bertanggungjawab dalam mengembangkan potensi manusia
atau WNI, menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
Ketiga,
sebagai
alat penyaring. Yaitu upaya
memilah nilai-nilai bangsa sendiri, dan menyaring budaya bangsa yang positif
untuk menjadi karakter manusia dan WNI seutuhnya. Melalui proses penyaringan
karakter ini, diharapkan pada mahasiswa menjadi bagian dari bangsa ini yang
memiliki ketinggian karakter, intelektual, dan bermartabat.
Meski
idealnya pendidikan karakter yang baik itu adalah sejak usia dini, porsi
pendidikan karakter di perguruan tinggi idealnya semakin berkurang. Hal itu
dengan asumsi bahwa karakter mahasiswa sudah terbentuk sempurna karena
karakternya sudah digembleng sejak di tingkat dasar. Namun kenyataanya,
sebagaimana diuraikan sebelumnya, akibat pengaruh moderenitas yang membawa
budaya hedonis dan kapitalis, karakter sebagian besar mahasiswa kita di
perguruan tinggi justru terdegradasi.
Salah
satu cara menyisipkan pendidikan karakter itu dalam kegiatan kemahasiswaan
adalah dengan adanya organisasi mahasiswa.
“Berorganisasi
memunculkan teman. Berteman melahirkan pergaulan. Pergaulan membawa pada
dinamika. Dan dinamika membawa kepada kematangan hidup sebagai seorang
pembelajar”. – Aktivis Mahasiswa
Apa pentingnya
mengikuti organisasi bagi mahasiswa?
Menurut saya itu adalah pertanyaan retoris. Namun,
sebenarnya pertanyaan seperti ini kerap kali datang dalam diri setiap mahasiswa
yang baru akan mulai beradaptasi. Mungkin beberapa orang akan berasumsi kalau berorganisasi
di kampus itu tidak terlalu penting, justru yang terpenting adalah bisa dapat
IP tinggi dan lulus dengan cumlaude.
Organisasi hanya membuang-buang waktu dan menghambat kuliah. Karena biasanya
yang dibutuhkan dalam pekerjaan adalah IP yang tinggi.
Namun bagi orang yang sadar dan mempunyai rasa
kepedulian sosial tinggi, pasti akan berpikir sebaliknya. Organisasi adalah
bagian vital dalam diri seorang mahasiswa. Jika kita menengok
perkembangan mahasiswa jaman sekarang ini, sangat berbeda jauh dengan mahasiswa
jaman dulu. Jaman sekarang, mahasiswa lebih cenderung bersifat pragmatis. Mereka lebih
memilih untuk pergi ke mall, main game atau bahkan pacaran ketika ada waktu
senggang saat kuliah. Dibanding dengan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
organisaasi mahasiswa. Mereka beralasan kalau jadwal kuliah bertabrakan dengan
kegiatan tersebut, sehingga tidak bisa hadir atau ikut berpartisipasi. Padahal,
jelas-jelas hal ini bisa ditangani jika bisa memanajemen waktu dengan baik.
Terbukti, beberapa mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi bisa sukses, karena
mereka memiliki manajemen waktu yang baik.
Sebenarnya banyak sekali pelajaran dan pendidikan yang
didapatkan dalam berorganisasi. Didalam organisasi kita bisa belajar disiplin,
menghargai waktu, menghargai orang lain, kita dapat mempelajari teknik
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan berbagai macam karakter manusia dan
budaya yang kelak akan berguna bagi diri kita, mengasah soft skill disamping itu kita juga dapat mengaplikasikan segala
ilmu yang telah kita dapatkan, implementasi ilmu dalam bentuk konkrit bukan
sekedar teori dan masih banyak lagi manfaat organisasi.
Adapun fungsi Oganisasi mahasiswa, secara legitimasi
fungsi Organisasi Mahasiswa terdapat dalam pasal 5, Keputusam Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155 /U/1998. Terdapat
tujuh fungsi Organisasi Kemahasiswaan, yakni;
(1) perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi
untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis
besar program dan kegiatan kemahasiswaan;
(2) pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan;
(3) komunikasi antar mahasiswa;
(4) pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai
insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan;
(5) pengembangan pelatihan keterampilan organisasi,
manajemen dan kepemimpinan mahasiswa;
(6) pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa
yang berpotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional;
(7) untuk memelihara dan mengembangkan ilmu dan
teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan
wawasan kebangsaan.
Organisasi
kemahasiswaan akan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk melatih personality,
attitude, leadership, communication skill dan masih banyak lagi. Ketika
seseorang diamanahkan sebagai seorang pemimpin suatu organisasi
kemahasiswaan, maka ia akan belajar bagaimana untuk mengelola organisasi
tersebut sehingga menjadi organisasi yang baik . Ia juga akan belajar bagaimana
mengelola konflik yang terjadi, karena konflik pasti ada dalam suatu
organisasi. Ia juga harus belajar untuk membuat program kerja yang kreatif dan
inovatif sehingga dapat membuat teman-teman mahasiswa yang lain tertarik untuk
mendukung dan terlibat dalam program kerja yang dibuat. Dan ini merupakan
tantangan yang berat bagi seseorang dalam melakukan tugas-tugas dalam
organisasinya. Sehingga organisasi mahasiswa dapat dijadikan upaya
dalam mengasah kemapuan personality, attitude, leadership, communication
skill yang merupakan bagian dari soft skill.
Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan
pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan
emosional (emotional intelligence). Soft
skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan
akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.
Sikap baik seperti integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam
tim, kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel,
komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dan lainnya, yang diminta oleh
kalangan pemberi kerja adalah atribut soft skill. Soft Skill
didefinisikan sebagai “personal and interpersonal
behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team
building, decision making, initiative). Soft skills do not include technical
skills, such as financial, computer or assembly skills” (Berthal, 2003).
Mahasiswa
tanpa organisasi seperti seorang pelajar tanpa pengalaman lapangan.
Mereka tak lain kecuali siswa lanjutan yang hanya belajar materi akademik.
Mereka hanya mementingkan bagaimana menjadi orang pintar tanpa merenungkan
bagaimana mentransformasikannya dalam kelangsungan hidup masyarakat. Tidak bisa
dipungkiri bahwa teori tidak selalu sama dengan realitas. Bagaimanapun
piawainya seorang mahasiswa berteori, genius sekalipun dalam mengerjakan soal,
belum tentu dia bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Pada
titik inilah, organisasi tidak bisa dihindari oleh mereka yang mengaku
betul-betul mahasiswa. Kalau hanya ingin mencari ilmu pengetahuan, seseorang
tidak perlu repot-repot menjadi mahasiswa. Dia bisa belajar autodidak dengan membaca
koran dan buku ilmiah serta internet atau menyimak diskusi yang dipublikasikan
oleh media televisi, misalnya. Namun, dia tidak boleh terlalu banyak bermimpi
untuk bisa menjadi leader (pemimpin) dalam sebuah komunitas karena kepemimpinan
adalah bagian penting dalam pengalaman organisasi.
Nah
intinya, mengikuti organisasi mahasiswa di kampus adalah salah satu bentuk
kesadaran dan kepedulian kita terhadap lingkungan sosial kita. Memberikan kita
pengalaman dan pengetahuan baru, baik dalam membentuk karakter kita sebagai
mahasiswa, maupun dalam menyikapi segala sesuatu, baik itu waktu, keadaan,
maupun oranglain, juga salah satu cara mengasah softskil kita. Mahasiswa tanpa organisasi seperti kita yang hanya
bisa memandang akuarium saja tanpa bisa berenang.
Semangat
anak muda!
Salam
lestari, Indonesia =)
Sourced:
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan
Karakter Di Perguruan Tinggi. Cirebon: Pustaka Pelajar.
___________http://andind08.blogspot.com/2010/12/organisasi-mahasiswa-sebagai-sarana.html
___________http://www.untirta.ac.id/berita-391-motivasi-berprestasi-melalui-organisasi-mahasiswa.html
___________http://rizkibeanpratama.wordpress.com/2012/03/07/untuk-apa-ada-organisasi-mahasiswa/