Perjalanan
menuju Sawarna, Kabupaten Lebak, Banten, adalah perjalanan yang sangat
berkesan. Saat itu adalah hari Kamis malam, saya beserta kelima teman saya
memulai perjalanan dari Cihampelas, Bandung pada pukul 22.00 WIB. Dengan
menggunakan tiga kendaraan motor, kami berenam berangkat menuju pemberhentian
pertama, yaitu salah satu rumah teman kami di Cianjur. Kami pun sampai di Cianjur
pada pukul 00.00 WIB. Sebelum beristirahat, kami berenam disuguhi sate maranggi
khas cianjur oleh tuan rumah. Kami sangat senang sekali, sampai akhirnya kami
bisa beristirahat pada pukul 01.00 WIB. Kemudian kami melanjutkan perjalanan
dari Cianjur menuju Sawarna pada pukul 06.00 WIB. Bagi kami, sudah biasa untuk
melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor, walaupun lelah duduk berjam-jam
selama perjalanan, tapi terbayar sudah dengan indahnya pemandangan pesawahan,
kebun teh, pegunungan kapur, dan pantai-pantai indah sepanjang Palabuhan Ratu. Walau
kami sempat terjebak macet di Sukabumi, dan berhenti sesekali untuk mengisi
bensin, shalat Jumat, dan beristirahat, tapi akhirnya kami bisa terus
melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Sawarna pada pukul 12.00 WIB.
Saat sampai di
pintu masuk besar Desa Sawarna, awalnya kami sempat bertanya-tanya. Di manakah
letak pantainya? Sejauh ini tidak ada tanda-tanda kehidupan pantai, tidak ada,
wangi air laut, suara ombak, maupun pasir. Semuanya masih berselimut tanah,
pegunungan, dan rumah-ruma penduduk. Lebih menariknya, perjalanan untuk sampai
ke pintu pantai, kami harus melewati jalanan yang terjal, tinggi,
berbelok-belok, sebelumnya kami ke sini, jalannya masih berlubang dan tidak
rata, tapi sekarang sudah lebih baik, jalannya sudah beraspal. Tiba di pintu
pantai, kami harus melewati jembatan gantung untuk sampai ke pemukiman warga,
di sini kami harus berhati-hati karena dengan kendaraan bermotor sangat sulit
untuk menjaga keseimbangan melewati jembatan ini. Tiket masuk tidak di hitung
dengan kendaraan bermotor, tapi dihitung perorangnya satu tiket Rp. 15.000.
Tunggu sebentar, perjalanan belum selesai, sampai di sini belum terlihat
tanda-tanda pasir pantai, sampai kami bisa melanjutkan kurang lebih 5-10 menit
perjalanan untuk ke pantai.
Barulah akan
terlihat indahnya dataran pasir membentang luas, dengan jalan setapak untuk
motor dan pejalan kaki. Wangi air laut pun sudah tercium, tak sabar rasanya
untuk mengistirahatkan diri. Nah, di sini ada banyak jalur, ada yang menuju
Pantai Tanjung Layar, Pantai Legon Pari, Karang Taraje, dan satu lagi adalah
tempat favorit kami untuk tinggal, yaitu Pantai Pasir Putih Ciantir.
Karena sepanjang
jalan itu pasir, jadi menggunakan kendaraan bermotor, carrier, dan bawaan lainnya, kami harus bersusah payah untuk sampai
menuju salah satu saung di tempat biasa kami tinggal.
Pantai Pasir
Putih Ciantir adalah tempat favorit kami, pantai ini menawarkan pesona pantai
yang menajubkan dengan ombak yang cocok bagi anda yang menyenangi olahraga
selancar. Selain masih sangat asri, dan dihiasi dengan pasir putihnya yang
bersih berkilau, juga ombak yang cukup besar dan menghasilkan suara ombak yang
merdu, pantai ini juga sepi dari kerumunan orang (kalau bukan di hari libur),
jadi bagi seorang yang menyukai kesunyian dan pencari ketenangan alam seperti
saya, Pantai Ciantir ini sangat cocok sekali. Nah, karena ombak yang cukup
besar, memberikan potensi sedotan ombak sehingga menimbulkan resiko tenggelam dan
terhanyut ombak. Namun, jika kita hanya berenang di pinggiran dan tidak
melewati batas bahaya, semuanya akan aman-aman saja. Selain itu, Pantai Ciantir
mempunyai pesona sunset dan suasana
malam yang indah. Selain itu, kearah kanan lurus sekitar 1 Km terdapat sebuah
muara yang tak kalah indahnya menyajikan pemandangan dan udara sejuk yang indah
dan nyaman. Biasanya, di pagi hari kami sempatkan sebentar untuk berjalan kaki
ke muara Pantai Ciantir tersebut dengan telanjang kaki.
|
Cendramata Dari Suku Baduy |
Selain itu,
Pantai Ciantir ini memiliki fasilitas yang cukup memadai. Walau sebelumnya kami
pernah camping, tapi kali ini kami
ingin mencoba untuk tinggal di saung kecil sekitar pinggiran pantai. Kondisi
saung-saung yang cukup
nyaman untuk di huni dengan harga yang tak kalah murah dan bisa di tawar,
kemarin kami menginap di saung dengan harga Rp. 300.000 untuk 6 orang selama tiga hari, dengan dua buah kamar, kasur
kecil, selimut beserta bantal, lima kamar mandi yang bersih, air bersih,
listrik, dapur, makanan yang cukup murah, tempat parkir, serta lokasinya yang
berada tepat di pinggiran pantai.
Di kawasan
pantai Ciantir ini, terdapat kurang lebih tiga native people asli Baduy, mereka keluar dari kawasan suku mereka namun tetap
dengan membawa budaya mereka. Seperti bertelanjang kaki tanpa alat transportasi
apapun, sehingga mereka menghabiskan waktu dua hari dua malam untuk sampai ke
pantai. Mereka tidak terlalu banyak berkomunikasi, tujuannya hanya untuk
menjual hasil buatannya seperti aksesoris gelang yang seharga Rp. 10.000, tas
seharga Rp. 50.000 yang terbuat dari kayu khusus, dan madu seharga Rp. 100.000.
Mereka juga berpergian dengan baju yang khas, dan kain yang dililitkan di
kepala, tidak menggunakan alas kaki, dan membawa senjata seperti pisau besar
yang terdapat ukiran cantik di pegangannya.
Setelah selesai
beristirahat, makan, dan merapikan perlengkapan kami, beberapa dari kami
sempatkan untuk berenang dan bermain pasir di pinggiran pantai, dan beberapa
lagi tetap beristirahat di saung.
Keesokan
harinya, kami bersiap untuk menyusuri pantai-pantai di Sawarna dengan berjalan
kaki. Mulai berjalan dari Pantai Pasir Putih Ciantir, Pantai Tanjung Layar,
melewati Karang Bereum, lalu lanjut ke Pantai Legon pari, Bukit senyum,
terakhir adalah Goa Lalay. Jangan lupa untuk memakai suncream agar kulit kita tidak terbakar (walaupun akan lebih
menghitam hehehe), siapkan air minum, dompet, dan kamera. Baiknya menggunakan
sepatu, topi, danpakaian yang panjang agar kulit tidak terbakar, tercekuali
bagi yang terbiasa cuek seperti saya, hanya mengenakan pakaian panjang dan
sandal outdoor.
Setelah selesai
dari muara dan persiapan, kami memulai perjalanan dari saung, sekitar pukul
09.00 WIB. Kami berenam berjalan menuju Pantai Tanjung Layar. Sekitar kurang
lebih 2 km kearah selatan. Kami berjalan melalui pinggir pantai dan melewati
jalan setapak.
Sekitar setengah
jam di perjalanan, akan terlihat pemandangan Karang Bereum, pemandangan indah
ombak besar yang menabrak batuan karang yang besar, menjadi seperti air terjun,
dan di atas karangnya ada sebuah batu karang berwarna merah pekat. Karena ombak
yang besar, tempat ini menjadi tempat favorit bagi para peselancar. Walaupun
tidak sedikit yang sering terluka karena menambrak karang saat berseluncur,
para peseluncur harus pandai mencari spot
untuk berselancar agar tidak menabrak batu karang, dan biasanya mereka membawa
dokter pribadi, dan terluka bukan menjadi penghalang bagi meraka untuk
melakukan olahraga ekstrim ini.
Akhirnya kami
tiba di pos pertama kami, Pantai Tanjung Layar. Tanjung Layar yang menjadi ikon
Desa Sawarna, yang nama pantai ini sendiri diambil dari kata tanjung yang
berarti daratan yang menjorok kearah lautan, dan layar pada layar perahu.
Memang pantai ini terletak tanjung yang memang tidak saja berpasir melainkan
berbatu-batu karang yang di tengahnya terdapat dua bongkahan karang yang
bersebelahan dengan tinggi kurang lebih 25 meter dengan luas sekitar 35 meter
persegi.
Pantai Tanjung
Layar merupakan pantai yang sangat indah dan mempesona. Hal yang unik dan
menarik, yaitu terdapatnya pemandangan karang kembar yang menjulang berbentuk
kerucut, terjadi karena gejala alam yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Di
sekitar karang terdapat karang yang berdiri menjulang setinggi 3 meter
sepanjang kurang lebih 400 meter yang memecah ombak menghalangi hempasan ombak
yang menerpa bongkahan karang kembar tersebut. Hasilnya, hempasan ombak yang
tertahan menjadi seperti air terjun. Di
bibir pantai terdapat pasir pantai dan pecahan karang dan koral yang
berserakan. Sekitar 20 meter dari bibir pantai terdapat warung-warung menyediakan
berbagai hidangan dan minuman. Makanan yang dijual di sini tidak jauh berbeda
dengan makanan yang dijual di warung di pinggir jalan seperti nasi goreng, mie,
lotek. Minumannya seperti minuman kemasan, teh manis, es kelapa, bandrek, dan
minuman beralkohol dengan kadar 5%.
Yang menarik
dari warung tersebut adalah tersedianya saung panggung atau gazebo yang cukup
luas sekitar 36 meter persegi yang bisa dipakai untuk duduk-duduk atau
berbaring sekadar melepas lelah. Material saungnya sendiri terdiri dari tiang
penyangga berbahan kayu dengan alasnya berbahan bambu dan atapnya yang terbuat
dari anyaman daun kelapa yang sudah kering. Penjaga warungnya pun sangat ramah
dan harga untuk makanan dan minumannya pun terjangkau. Untuk harga makanan
berkisar Rp. 10.000,- s.d. Rp. 20.000,- sedangkan untuk minuman berkisar Rp.
3.000,- s.d. Rp. 10.000,-. Pada tiap warung terdapat fasilitas toilet yang
cukup memadai dan di beberapa warung terdapat TV dan sambungan untuk listrik.
Udara pantai yang berhembus dan saung yang menahan terik sinar matahari,
dijamin membuat betah pengunjung untuk berlama-lama di sana.
Nah, suatu objek
wisata biasanya tidak dapat terlepas dari cerita atau legenda dibaliknya, tidak
terkecuali pantai tanjung layar. Konon katanya, apabila ada dua sejoli
mengunjugi tanjung layar dan menyentuh karang kembarnya, maka cinta mereka tak
akan terpisahkan seperti karang tersebut, dan memang tidak setiap pengunjung
dapat menyentuhnya karena bila pasang, air laut sering menenggelamkan akses
jalan menuju karang kembar. Legenda yang lainnya adalah legenda batu yang di
permukaannya terdapat tapak kaki yang berukuran jumbo. Penduduk setempat
meyakini tapak kaki itu adalah tapak kaki si Kabayan. Sampai sekarang tapak kaki ini masih utuh dan menjadi objek wisata di Sawarna, mereka menyebutnya "tapak si kabayan".
Pantai Tanjung
Layar juga sering diburu para pengunjung yang gemar fotografi, selain
karakteristiknya yang unik, pantai ini sangat cocok untuk mengambil foto saat
matahari tenggelam, namun perlu diperhatikan apabila ingin berfoto di karang
layar hendaknya berhati-hati karena medan jalan yang sangat licin juga ombak
besar yang siap menerjang kapan saja. Salah satu kekurangan yang lainnya juga adalah
di daerah tanjung layar masih minim penjaga pantai dan peralatan penyelamatan.
Setelah puas
menghabiskan waktu di Pantai Tanjung Layar, kami melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki menuju Pantai Legon Pari. Selama menyusuri pinggiran pantai, kami
harus berhati-hati, karena jalannya merupakan daratan batu-batu karang. Bagi
kami ini sangat menyenangkan, jauh, dan memcau adrenalin, karena sangat jarang
bagi kami untuk berjalan kaki jauh melewati bebatuan karang seperti ini, jadi
kami bawa senang saja. Perjalanan ini pun, mempererat persahabatan kami, karena
saya senang makan, jadi kami sempatkan untuk beristirahat di warung kecil,
sementara yang lain beristirahat, saya berdua dengan teman saya yang lain untuk
makan mie rebus (hehehe).
Sesampainya
di Pantai Legon pari, pukul 13.00 WIB, perjalanan yang panas nan jauh, namun
terbayar sudah dengan keanggunan Pantai
Legon Pari. Sesuai
namanya “Legon” berasal dari kata
“Lagoon” dalam bahasa Inggris atau “Laguna” dalam bahasa Indonesia yang artinya
sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang yang berupa pasir
atau batu karang, dapat juga diartikan sebagai air yang berada di belakang
gugusan batu karang. Sedangkan menurut masyarakat setempat, Ibu Eti, salah satu
pemilik warung di Pantai Legon Pari, menuturkan dalam bahasa sunda, arti
“Legon” atau “Melegon” adalah lengkungan dan “Pari” karena dahulu terdapat
banyak ikan pari yang hidup di kawasan ini.
Pantai Legon Pari merupakan pantai yang sangat indah,
Hembusan angin yang cukup kencang, spot
karang yang sangat luas dan besar ditambah dengan desiran ombak yang deras
merupakan sajian keindahan alam yang sangat diminati bagi pengunjung,
dan Pantai Ciantir ini sangat anggun dengan sunrisenya.
Untuk
yang khusus masuk ke Pantai Legon Pari ini, cukup dengan tiket masuk seharga lima ribu rupiah,
terkecuali kami tidak membayar karena kami menyusuri pantai, jadi tidak masuk
melalui pintu masuk utama.
Pengunjung yang datang ke objek wisata ini terbilang sangat sedikit. Setiap
senin hingga jumat kawasan pantai Legon Pari selalu sepi pengunjung, namun
kondisi tersebut berubah menjadi lebih ramai pada hari sabtu dan minggu.
Di
Pantai ini, pengunjung dapat
berenang,
karena pantai Legon Pari merupakan satu-satunya pantai
yang aman di daerah Sawarna yang dapat digunakan untuk berenang karena ombaknya yang tidak terlalu besar.
Namun tetap saja tidak diperkenankan berenang di dekat area batu karang.
Fasilitas-fasilitas yang terdapat di objek wisata Pantai
Legon Pari cukup lengkap. Terdapat beberapa toilet yang disediakan,
warung-warung dan saung-saung di sepanjang pinggiran pantai sebagai tempat
bersantai para pengunjung. Namun sayangnya, di daerah Pantai Legon Pari tidak ada restoran atau
warung yang menyajikan makanan khusus. Seperti makanan khas daerah Sawarna atau
Seafood. Oleh karena itu pengunjung hanya bisa menyantap mie instan, nasi
goreng atau makanan rumahan yang disajikan oleh warung seperti karedok, sayur
sop, capcai, tempe dan tahu goreng dll. Serta tidak ada penginapan di dekat
Pantai Legon Pari sehingga pengunjung yang ingin menikmati sunrise harus
bersiap-siap sangat pagi untuk mengunjungi Pantai Legon Pari mengingat jarak
dari pintu masuk ke lokasi wisata cukup jauh dan melewati jurang-jurang kecil,
pesawahan, hutan-hutan kecil, dan bukit-bukit.
Goa Lalay
merupakai bahasa sunda yang berarti kelelawar karena disana dulunya banyak
kelelawar. Mulut goa Lalay cukup lebar, tetapi atapnya rendah.
Ketika
akan memasuki goa ini harus berhati-hati karena goa dialiri sungai kecil, tapi
kalau salah melangkah bisa terperosok hingga basah sepinggang dan lumpurnya
sangat licin. Menurut infomasi masyarakat lokal, di Goa lalay itu pernah ada
ular yang cukup besar sebagai predator kelelawar.
Goa
Lalay sudah mulai dikunjungi wisatawan sejak tahun 2000. Goa ini berbentuk vertical dan ada yang horizontal. Panjang Goa yang bisa
dikunjungi bermacam-macam mulai dari 250 meter s.d. 400 meter. Panjang goa ini
diperkirakan mencapai 10 hingga 15 kilometer.
Untuk
menuju ke Goa Lalay bisa berjalan kaki atau bisa juga menggunakan ojek. Goa
Lalay lebih mudah diakses dengan menggunakan ojek ketimbang berjalan kaki,
karena lokasinya memang cukup jauh. Dengan membayar 20 – 30 ribu, kita bisa
diantar jemput ke goa lalay ini. Karena sebelumnya kami sudah pernah
menggunakan ojek, kali ini kami mencobanya dengan berjalan kaki.
Untuk
masuk ke goa, kita dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 5.000,- /orang. Di pos
masuk, kita juga bisa menyewa head lamp
untuk menjelajahi goa. Untuk sewa tersebut kita dikenakan biaya Rp. 5.000,-. Setelah
membayar biaya masuk dan melengkapi perlengkapan untuk penjelajahan, kami masuk
ke goa yang kedalaman goanya sekitar 200 meter saja, karena keterbatasan waktu
yang kita punya. Kami mulai memasuki Goa tersebut bersama beberapa pengunjung lain
yang ingin ikut masuk, kami tidak menggunakan Guide, karena kami sudah pernah
menjelajahi jalurnya sebelumnya. Karena sumber cahaya dalam goa hanya dipintu
masuknya saja, maka semakin dalam akan semakin gelap dan menegangkan. Dan
selalu digenangi air. Air ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang ada di
sekitarnya. Apabila musim kemarau, maka debit air akan berkurang. Dan apabila
sedang musim hujan, maka debit airnya juga meningkat. Selain itu, bau kotoran
Lalay pasti kami hirup dan injak di sepanjang perjalanan Goa tersebut.
Fasilitas
yang terdapat di wisata Goa Lalay cukup lengkap, seperti, musolla, kamar mandi,
warung dan tempat peristirahatan, juga ojek.
Setelah
selesai dari Goa Lalay, kami pun pulang ke saung kami berjalan kaki dan tiba di
sana pada pukul 16.00 WIB. Karena pakaian yang sudah kotor, beberapa dari kami
langsung berlari di pasir putih membasuh diri dengan ombak Pantai Pasir Putih
Ciantir.
Lelah
yang terbayar sudah. Suasana sunset
di pantai kami habiskan bermain pasir, dan tidur di tepian pantai, sambil
menunggu para chef hebat (beberapa
teman kami) menyiapkan makanan.
Pada
malam hari, adalah saat favorit. Sementara yang lain beristirahat, saya tiduran
di pinggir pantai beralaskan matras, dengan udara yang khas, suara ombak,
kepiting-kepiting kecil yang berlarian kesana kemari meninggalkan jejak
lubang-lubang kecil di pagi hari, dan sunyi. Kesempatan yang jarang orang
punya, bisa merasakan ketenangan yang seperti ini, sulit digambarkan dan
diungkapkan dengan kata-kata.
Keesokan
harinya, sebelum persiapan pulang, kami keliling sebentar untuk mencari
beberapa informasi tentang Pantai Sawarna ini. Karena kami tidak sempat bertemu
dengan kepala Desa, tapi ada salah satu orang kepercayaannya yang bisa kami
mintai keterangan mengenai, budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat,
akomodasi, transportasi, kuliner, souvenir, dan lain-lain.
Desa
Sawarna memiliki beberapa Budaya dan Kearifan Lokal
tertentu. Yang pertama adalah Dongdang. Dongdang adalah suatu
keranjang besar yang dibentuk menyerupai benda di sekitar lingkungan kehidupan
masyarakat Desa Sawarna. Biasanya kegiatan ini berlangsung pada acara sakral
dan dimeriahkan banyak orang, contohnya ketika acara pernikahan berlangsung
mempelai pria akan membawa barang atau seserahan yang akan diberikan kepada
pihak mempelai wanita, dan barang tersebut akan dibawa menggunakan dongdang.
Seni
tradisi Dongdang biasa ditampilkan di hari yang dinggap penting seperti hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Seni ini sudah menjadi adat kebiasaan
masyarakat Desa Sawarna dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi
selanjutnya.
Seiring
dengan perubahan jaman dan kreatifitas pemikiran manusia, maka Dongdang menjadi
lebih indah dan menarik dengan dikemas seindah mungkin. Ada yang berbentuk
perahu, ikan, hewan, mobil-mobilan dan rumah-rumahan.
Dongdang
biasanya diisi oleh palawija (hasil bumi) yang akan diserahkan kepada seseorang
yang dimaksud. Pada saat upacara Hari Kemerdekaan RI, masyarakat membawa dan
menyerahkan hasil palawija mereka kepada Pemerintahan Desa Sawarna untuk
dipergunakan sebaik mungkin. Ini adalah bentuk kecintaan mereka terhadap NKRI
sebagai rasa terima kasih kepada jasa para pahlawan.
Apabila
ingin menikmati acara ini biasanya ditampilkan pada saat Peringatan Hari Besar
Nasional sebagai acara hajat desa.
Selanjutnya ada yang disebut dengan
Lengseran pada HUT RI. Nah, di tengah
cerahnya langit desa Sawarna dan diantara keramahan penduduknya, kegiatan
upacara bendera untuk memperingati Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia
masih sering dilaksanakan dan diikuti oleh seluruh warga di desa Sawarna. Acara
yang sudah berjalan puluhan tahun lalu, peringatan HUT RI di Desa Sawarna ini
bisa dikatakan sebagai hari ulang tahun Desa yakni hajat bersama.
Sesuai
ungkapan tersebut maka semua kreasi dari warga masyarakat Desa Sawarna di
tampilkan di sini, salah satunya adalah Kesenian Lengser yang biasa ditampilkan
dalam acara-acara yang bisa dikatakan penting. Penampilan Lengser dibantu
dengan penampilan tari kocak serta para dayang-dayang cantik menyambut Kepada
Desa Sawarna setelah melaksanakan upacara bendera.
Sebagai
suatu bentuk tradisi yang melekat di hati masyarakat Desa Sawarna acara ini
mendapat dukungan penuh dari warga terlihat adanya saweran dari warga kepada Ki
Lengser.
Setelah
lengser menyambut, mengalungkan bunga dan membawa Kepala Desa ke atas pentas
seni degung pun yang dimainkan oleh warga selalu setia mengiringi acara ini,
ditambah lagi dengan kocaknya para pemain tari kocak yang mengundang gelak tawa
dari para penonton.
Adapun
Wayang Golek yang merupakan salah satu kesenian yang wajib ditampilkan pada HUT
RI di Desa Sawarnapada malam harinya.
Adapun yang namanya
Gebyar Nelayan.
Gebyar Nelayan adalah
sebuah kegiatan yang diadakan setahun sekali yang diadakan pada HUT RI juga
mengapresiasi para nelayan Sawarna. Pada hari itu, kegiatan ini dilakukan oleh
para nelayan dengan cara menghias kapal-kapal mereka secantik mungkin untuk
dilombakan dan di bawa berlayar bersama-sama ke tengah pantai.
Untuk
datang ke surga yang tersembunyi ini, tentunya kita memerlukan transportasi. Nah, untuk menjangkau Pantai
Sawarna, dari Bandung hanya dapat ditempuh dengan modal transportasi darat saja
antara lain dengan menggunakan kendaraan pribadi baik motor atau mobil, atau
dengan kendaraan umum, juga dengan travel.
1)
Transportasi
Motor Pribadi
Perjalanan dapat ditempuh dari
Bandung melalui Cimahi -Bandung Barat – Cianjur – Sukabumi - Pelabuhan Ratu – Cisolok
-Sawarna. Untuk motor menghabiskan sekitar 8 liter bensin dengan jarak tempuh
kurang lebih 350 kilometer, dan menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam
perjalanan.
2)
Transportasi
Mobil Pribadi
Perjalanan ditempuh dengan rute
yang sama dengan perjalanan dengan transportasi motor dengan estimasi bensin
untuk 350 kilometer dengan estimasi bensin 40 liter kira-kira menghabikan biaya
Rp. 300.000,- untuk bensin.
3)
Transportasi
Umum
Perjalanan dapat ditempuh dengan
menggunakan Bis menuju Sukabumi dengan biaya sebesar Rp. 25.000,- diteruskan
dengan bis menuju Pelabuhan ratu dengan biaya Rp. 15.000,- dan diteruskan
dengan mobil Elf menuju Terminal Bayah, turun di pertigaan gerbang pantai
sawarna dengan membayar sebesar Rp. 20.000,- dan diteruskan dengan menggunakan
ojeg menuju pantai Ciantir dengan membayar sebesar Rp. 25.000,-.
4)
Jasa
Travel
Dengan menggunakan Travel biayanya
adalah Rp.680.000,- untuk 6 orang termasuk penginapan dan 6 kali makan.
Nah selanjutnya setelah
transportasi tentunya kita pasti juga perlu tahu mengenai Akomodasinya. Sawarna menyediakan
berbagai jenis tempat pengingapan berupa Villa,
Wisma, Homestay dan juga Saung/Rumah
Panggung.
Untuk
wisatawan yang lebih menyukai kenyamanan suasana rumah bisa menempati Villa atau Wisma setempat, dengan
tersedianya kolam renang, taman bermain, kamar, dapur, mushola, ruang meeting¸
tempat parkir yang luas, konsumsi 3x, cendramata, ber-AC, dengan harga yang cukup ekonomis, sekitar Rp. 400.000 yang ber-AC dan Rp. 300.000 untuk yang berkipas
angin, kapasitas maksimal 3 orang per kamar. Adapun Homestay yang kurang lebih
sama fasilitasnya, hanya mungkin tidak terdapat kolam renang, ruang meeting,
dan taman bermain. Harganya pun kisaran Rp. 200.000 s.d. Rp. 300.000. Yang
terakhir tempat kami menginap kemarin adalah Saung tertutup. Harganya lebih
ekonomis ditambah dengan pemandangan pantai sebagai bonusnya, kami hanya cukup
membayar Rp. 300.000 untuk dua hari dengan kuota 6 orang. Fasilitasnya dua
kamar, tempat parker, 6 kamar mandi yang cukup bersih, dapur dan jajanan,
musholla, dan air bersih. Lain lagi rumah panggung yang tidak tertutup itu
harganya sangat murah, dengan bayaran seikhlasnya menurut sang pemilik.
Kebetulan kami pernah menginap di situ dengan hanya membayar Rp. 10.000/orang
dalam waktu sehari, ditambah fasilitas yang sama dengan Saung tadi.
Untuk Oleh-Oleh
dan Makanan Khas Sawarna,
mereka menyediakan souvenir seperti
pakaian berupa, kaos, celana, kain pantai, topi dan hiasan dari batu, karang,
dan kayu. Tidak lupa salah satu souvenir yang unik lagi adalah Batu Mulya yang
terbuat dari batu-batu yang cantik dengan harga yang lumayan murah dan dengan
banyak pilihan.
Selain
itu Sawarna sama seperti kawasan pantai pada umumnya tidak terlalu memiliki
kuliner khas, selain yang umum dijual di daerah pantai seperti seafood dan
Oleh-oleh rumah seperti; Sale Sawarna, Sasagon Sawarna, Gipan, Gula Semut,
Lantak, Kripik Sampeu, Ranginang, Opak, Emping, Karedok, dan Dawegan Sawarna.
Demikian,
sekilas tentang perjalanan kami ke Surga Yang Tersembunyi, Sawarna. Semoga
cerita dan informasi yang kami sampaikan bisa bermanfaat untuk kalian yang akan
berwisata ke Sawarna. See you in another story…